Ayub 42:10-17 

Sdr-sdr yang dikasihi Tuhan Yesus,

Ada seorang murid bertanya kepada Kotzker Rebbe, seorang rabi terkenal yang berasal dari Polandia, “Di manakah Allah?”. Lalu apa jawab dari rabi Rebbe, “Ketika kamu mengizinkan Dia masuk dalam hidupmu”. Jawaban ini terkesan sederhana, tetapi sebetulnya sangat dalam sekali maknanya. Seperti perkataan dalam bahasa Inggris “Let go and let God” suatu kalimat yang sederhana dan memang bedanya hanya huruf “d” tetapi sebenarnya di sini menunjukkan terjadinya suatu transformasi atau perubahan yang drastis dalam hidup seseorang.

Perubahan drastis apa? Dari hidup yang mengandalkan diri sendiri, lalu menyerahkan diri (let go) dan membiarkan Allah yang berdaulat dan mengendalikan hidupnya. (Let God). Dari hidup berpusatkan pada diri sendiri berubah menjadi hidup yang berpusatkan pada Tuhan. Inilah kunci dan rahasianya ketika seseorang ingin mengalami pemulihan yang utuh dalam hidupnya.

Memang manusia bisa berusaha dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuannya untuk menyembuhkan dan memulihkan kesehatannya agar bisa tetap bertahan hidup. Bahkan berusaha untuk menyelamatkan dirinya. Namun bagi orang-orang percaya, hanya Tuhan – Sang Sumber Hidup yang sanggup menyembuhkan, memulihkan dan menyelamatkan hidup seseorang.

Bagi manusia selalu ada kebebasan untuk memilih. Setiap orang memiliki kehendak bebas untuk melakukan apa saja yang ia ingin lakukan dalam hidupnya. Namun kita tidak dapat selalu mengubah kejadian dalam hidup ini, sesuai dengan keinginan kita. Kita adalah manusia yang terbatas. Dan ketika logika manusia tak lagi mampu mencerna dan ketika intuisi tak lagi berfungsi untuk memahami peristiwa yang terjadi, maka muncullah pertanyaan abadi: Mengapa? Mengapa Allah membiarkan ini terjadi kepadaku? Ketika kita mengalami hal yang tidak kita mengerti maka kita mempertanyakan keadilan Tuhan.

Sdr-sdr yang dikasihi Tuhan Yesus,

Hal ini juga yang dipertanyakan oleh Ayub, tokoh utama dalam perikop kita ini. Siapakah Ayub? Kalau kita membaca kitab Ayub 1:1-5, dikatakan Ayub adalah orang yang saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ia juga seorang yang sangat kaya raya dan mengasihi anak-anaknya. Sebagai manusia, apalagi yang kurang dari Ayub?

Namun diceritakan dalam pasal 1, bahwa ada “konspirasi” antara Tuhan dan iblis yang menyebabkan Ayub harus menderita. Mungkin, tidak ada manusia yang lebih menderita daripada Ayub. Apa yang dialaminya? Ia harus kehilangan harta kekayaannya. Ia harus pula kehilangan tidak satu tetapi 10 orang anak laki-laki dan perempuan. Ia juga mengalami penyakit, barah busuk dari telapak kakinya sampai ke kepalanya. Lalu istrinya, bukannya mendukung dia malah “menteror” dan menyuruh untuk mengutuki Allahnya dan mati.

Bagaimana sikap Ayub mengalami penderitaan berat ini? Kalau kita hanya membaca pasal 1 dan 2 maka kita akan mendapat kesan, Ayub adalah seorang sangat saleh dan beriman

Dalam Ayub 1:22, dikatakan, “Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut”. Lalu dalam pasal 2:10, ia berkata kepada istrinya, “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.

Namun kalau kita membaca mulai pasal 3 dan seterusnya maka kita mendapat kesan yang berbeda mengenai tokoh Ayub. Dalam pasal 3:1, Ayub mengutuki hari kelahirannya. Bahkan dalam pasal 3:11, Ayub berkata, “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan?” Tentu sangat wajar dan manusiawi, kalau Ayub mempertanyakan keadilan Tuhan. Mengapa? Ia merasa tidak diperlakukan adil oleh Tuhan.

Sdr-sdr, pada waktu itu, ada pemahaman yang berlaku umum bahwa yang adil itu adalah: orang yang saleh, jujur dan benar seharusnya hidupnya diberkati, diselamatkan dan tidak mengalami penderitaan. Sebaliknya orang yang jahat, tidak jujur seharusnya dihukum dan menderita. Ayub yang saleh dan jujur harus menderita. Mengapa? Apa kesalahannya sehingga ia harus mengalami penderitaan yang sangat berat.

Dalam pergumulannya yang berat ini, dikisahkan bahwa datang teman-teman Ayub untuk menolong Ayub memahami apa yang sedang terjadi di dalam hidupnya. Teman-temannya ini berusaha keras untuk menjawab pertanyaan klasik dan abadi, mengapa? Mereka berpikir bahwa untuk semua pertanyaan pasti tersedia jawaban. Untuk setiap akibat, pasti ada sebab. Segala sesuatu dapat dijelaskan berdasarkan logika dan akal sehat.

Teman-teman Ayub pada intinya meminta Ayub untuk mengakui dosa-dosanya dan bertobat. Para teman Ayub ini, berusaha untuk membela Tuhan. Ada yang mengatakan, jangan persalahkan Tuhan kalau mengalami musibah. Ia tak akan pernah membiarkan anda menderita tanpa sebab dan tanpa salah. Teman lainnya mengatakan, melalui bencana itu Tuhan mau mendidik dia. Seperti seorang ayah “memukul” anaknya.

Walaupun teman-teman Ayub berniat baik, namun Ayub tahu bahwa jawaban-jawaban yang diberikan teman-teman, bukan itu jawabnya. Karena kalau sesorang harus mengalami musibah karena kesalahannya maka logikanya, seharusnya yang kesalahannya lebih besar atau lebih banyak, harus mengalami musibah yang lebih berat. Kalau dikatakan Tuhan mendidik orang melalui bencana, mengapa orang yang benar yang dihajar? Bukankah seharusnya orang jahat atau berlaku tidak benar yang seharusnya mengalami bencana?

Yang menarik dari kisah Ayub adalah walaupun Ayub “tidak puas” dengan jawaban teman-temannya, ia tidak berputus asa dan berusaha untuk mencari jawabnya. Ia terus ber”dialog” dengan Tuhan. Ia ingin Tuhan memberi jawaban atas pertanyaannya. Kalau kita membaca Ayub mulai pasal 38 sampai pasal 42, oleh LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) diberi judul “Jawab Tuhan kepada Ayub”

Sebenarnya pasal-pasal itu bukan jawaban Tuhan kepada Ayub tetapi Tuhan mengingatkan Ayub, siapa Tuhan dan siapa manusia. Siapakah manusia yang mempertanyakan kedaulatan atau kebijaksanaan Tuhan? Dalam pasal 38:4, Tuhan bukan menjawab Ayub malah mengajukan pertanyaan, “Dimanakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi?”

Dengan pertanyaan ini, Tuhan mengingatkan Ayub, Siapakah manusia yang mau menguasai pikiran jalan pemikiran Tuhan? Yang mau menuntut keadilan dan pertanggunganjawaban Tuhan? Terbalik, Ayub! Jalan pemikiranmu sungguh terbalik.

Sdr-sdr yang dikasihi Tuhan Yesus,

Sangat penting sekali mempunyai pemikiran yang “baik” dan “sehat”. Pemikiran yang sudah dipulihkan dapat meringankan penderitaan kita dan mengubah cara pandang kita untuk melihat diri kita dan dunia ini serta peran Tuhan di dalamnya. John B Cobb Jr dalam bukunya “Becoming a Thinking Christian” berargumentasi bahwa jika kita mengharapkan pembaharuan terjadi di sebuah gereja maka kita harus memulainya dengan pembaharuan pola berpikir di dalam gereja itu.

Kembali ke kisah Ayub. Setelah Ayub terus ber”dialog” dengan Tuhan, dalam ayat 10 dari perikop kita dikatakan, “Lalu Tuhan memulihkan keadaan Ayub…” Ayub mengalami pemulihan hidup. Bukan saja Tuhan memberi kembali 10 anak-anak dan dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu, namun yang terpenting pemikiran atau pemahaman Ayub juga dipulihkan. Kalau kita membaca Ayub 42:5 dikatakan, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau”

Dengan lain perkataan, melalui apa yang ia alami, Ayub memahami siapa Tuhan dan siapa dirinya. Ayub menerima keterbatasannya. Ia menyadari bahwa tidak semua pertanyaan mempunyai jawab. Tidak semua akibat mempunyai sebab. Tidak semua kebijaksanaan Tuhan bisa dicerna oleh logika. Sikap inilah yang membuat Ayub mengalami secara pribadi kuasa Tuhan dalam hidupnya.

Pertanyaannya tetap tak terjawab. Tetapi “jawaban” yang diberikan Tuhan telah mengubah seluruh sikap bahkan seluruh hidupnya. Ia menyadari tidak semua hal harus ia pahami. Ada hal-hal yang tetap tinggal sebagai misteri dalam hidupnya. Namun ia tetap percaya kepada Tuhan. 

Sdr-sdr yang dikasihi Tuhan Yesus,

Ada beberapa sikap atau perilaku rohani praktis yang dapat membantu kita dalam proses pemulihan dan mengalami kepenuhan hidup: pikiran, tubuh dan roh, apakah kita mengalami kesembuhan secara fisik atau tidak.

  1. Jangan cepat-cepat menyalahkan diri sendiri. Umumnya kita berusaha untuk mencari alasan untuk penyakit dan penderitaan yang kita alami. Dan ada kecenderungan untuk cepat-cepat menyalahkan diri. Memang ada penyakit atau penderitaan yang diakibatkan karena kesalahan kita sendiri. Namun kita belajar dari kisah Ayub bahwa tidak selalu penyakit dan penderitaan itu disebabkan oleh kesalahan kita. Ada hal-hal yang terjadi, di luar kontrol kita sebagai manusia.
  2. Berani mengambil tanggung jawab yang lebih. Melalui kisah Ayub, kita dapat belajar untuk tidak begitu saja menerima (nrimo) apa yang terjadi di dalam hidup kita. Ayub, tidak begitu saja menerima nasehat teman-temannya dan taat begitu saja tanpa mengujinya. Tetapi ia berani mengambil tanggungjawab atas keyakinannya atau apa yang ia percaya dengan terus berkomunikasi atau berdialog dengan Tuhan.

Ayub berusaha untuk mendengarkan Tuhan, lalu pada akhirnya ia berespon secara bertanggungjawab.  Sdr-sdr, menarik sekali bahwa di dalam kosakata Ibrani, sebenarnya tidak ada satu kata “taat” pun yang dipakai. Kalau pun ada kata “taat” dalam Alkitab kita, itu merupakan tafsiran bukan arti kata yang sebenarnya.

Kata yang sering dipakai adalah “Shema” yang artinya “dengarkan”. Tapi yang dimaksud kata “dengarkan” di sini bukan suatu tindakan yang pasif, tidak melakukan apa-apa melainkan mendengarkan dengan baik, lalu berespon sebagai bentuk tanggungjawab atas Firman Tuhan yang ia dengar dan percayai. Jadi bukan suatu tindakan taat “buta”. Artinya, pokoknya yang penting taat saja walaupun tidak mengerti

  1. Kembangkan perilaku yang positif dan berpengharapan. Penting sekali untuk mempunyai perilaku yang positif dan berpengharapan dalam hidup ini. Hidup ini terasa berat sekali, kalau kita tidak memiliki atau kehilangan harapan. Tetapi sebaliknya kalau kita hidup dalam pengharapan maka ini akan memungkinkan kita atau membuka jalan bagi kita mengalami kasih dan kuasa Tuhan, yang dapat memulihkan hidup kita
  2. Membingkai ulang kesakitan dan penderitaan kita. Sakit penyakit dan penderitaan adalah suatu hal yang real atau nyata, yang kita semua alami selama hidup di dunia ini. Tidak mudah untuk menghadapi sakit penyakit dan penderitaan. Namun sakit penyakit dan penderitaan, bukan satu-satunya realitas dalam hidup di dunia ini. Sebagai orang-orang percaya, kita meyakini bahwa kita tidak berjalan sendiri, tetapi Tuhan kita dan kuasa kebangkitan-Nya juga real dan nyata di dalam kehidupan kita.

Pada saat masa-masa sulit, seperti yang dilakukan oleh Ayub, kita dapat memilih membingkai ulang pengalaman hidup kita, khususnya ketika kita sedang berhadapan dengan sakit penyakit dan penderitaan. Bahwa di dalam Tuhan selalu ada harapan karena Ia adalah Tuhan yang Maha kuasa. Tuhan yang telah mati dan bangkit!

Sdr-sdr yang dikasihi Tuhan Yesus,

Hari rabu yang lalu, Santi, istri saya baru kembali dari Indonesia. Ia bercerita bahwa pesawatnya dari Jakarta menuju Dubai, mengalami beberapa kali goncangan hebat sehingga para penumpang ketakutan karena merasa pesawat akan jatuh. Puji Tuhan, pesawat ini boleh tiba dengan Dubai dengan selamat.

Melalui kita ini, kita belajar, bukankah ketika kita pergi dengan pesawat terbang, kita berani menyerahkan perjalanan dan hidup kita kepada pilot yang mungkin, kita tidak kenal sama sekali. Lalu, mengapa kita tidak berani untuk mempercayakan perjalanan dan hidup kita kepada Tuhan yang mengendalikan hidup ini dan yang mengasihi kita? Mari kita memberi diri untuk dipulihkan. Tuhan memberkati kita.

Amin.