Kisah Para Rasul 15:35-41

Sdr-sdr yang dikasihi Tuhan Yesus,

Setiap tahun, GKIN mengadakan kotbah berseri sesuai dengan tema tahunan. Tema GKIN tahun 2022 adalah: “Gereja, tempat dimana terjadi penyembuhan dan pemulihan”. Tahun ini ada dua kali kotbah berseri. Kotbah berseri ke dua tahun ini, mengenai peran gereja untuk menghadirkan kesembuhan dan pemulihan dari Allah. Khusus untuk minggu ini, temanya adalah “Peran Gereja untuk menghadirkan kesembuhan dan pemulihan Allah – hubungan dengan sesama”.

Beberapa tahun yang lalu, ada spanduk di jalan-jalan utama di Indonesia yang mengatakan “Damai itu Indah”.

Apakah anda setuju bahwa “Damai itu Indah”? Mungkin ada yang berkata, tergantung apa yang dimaksud dengan kata “damai”? Karena kata “damai” mempunyai banyak arti. Mobil saya pernah melanggar lalu lintas di Jakarta karena sopir saya parkir di tempat yang salah. Lalu sopir saya berkata kepada pak polisi, “maaf pak, kita damai aja” Sdr-sdr mengerti maksudnya? Kata “Damai” di sini berarti memberi uang supaya urusan selesai dan tidak dihukum.

Namun sebenarnya yang dimaksud dengan slogan “Damai itu Indah” adalah mau mengingatkan kepada semua orang bahwa kalau manusia hidup rukun dan damai satu dengan yang lain maka hidup ini menjadi indah. Hal yang senada juga dikatakan oleh si pemazmur 133:1 yang mengatakan “Sungguh. Alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!”

Kita semua tentu merindukan kehidupan yang rukun dan damai, di mana tidak ada konflik dan permusuhan, tidak ada kebencian dan dendam apalagi perang. Namun bagaimana kenyataannya? Ternyata di dunia ini, terjadi begitu banyak konflik dan permusuhan. Baik antar individu maupun juga antar negara. Saat ini perang Rusia dan Ukraina masih terus terjadi. Dan akibat dari perang ini, dirasakan oleh seluruh penduduk dunia.

Sdr-sdr yang dikasihi Tuhan Yesus,

Selama kita masih hidup di dunia yang sudah tidak ideal lagi akibat kejatuhan manusia dalam dosa, maka konflik itu tidak dapat dihindari. Mengapa? Karena kuasa dosa masih ada dan terus menggoda kehidupan manusia, termasuk juga orang-orang percaya. Tidak mengherankan kalau di lingkungan gereja pun, masih bisa terjadi konflik. Baik antar individu maupun antar kelompok. Bukan saja konflik di antara para anggota jemaat namun juga konflik terjadi antar pemimpin gereja.

Melalui perikop kita, kita tadi membaca bahwa terjadi konflik pribadi antara Paulus dengan Barnabas. Dalam ayat 39 dikatakan, ‘Hal itu menimbulkan perselisihan yang tajam…”. Bayangkan, saudara-saudara, Paulus dan Barnabas adalah rasul-rasul Tuhan. Mereka tentu sudah dewasa dalam iman dan pemimpin dalam jemaat tetapi mereka pun dapat berselisih pendapat. Dan ironisnya adalah mereka baru saja kembali dari Yerusalem, dimana mereka berdua telah menjadi pembawa damai bagi perselisihan yang terjadi antara jemaat Yudea dengan jemaat Antiokhia.

Kisah Para Rasul pasal 15, menceritakan bagaimana peran persekutuan kristen pada waktu itu (karena gereja belum berlembaga) ketika terjadi konflik di dalam jemaat. Ada perbedaan pendapat atau pemahaman antara orang-orang kristen di Yudea dengan orang-orang kristen di Antiokhia. Akhirnya ditetapkan bahwa Paulus dan Barnabas serta beberapa orang lainnya diutus pergi ke Yerusalem untuk membicarakan persoalan yang ada. Jadi, kedua pihak yang sedang berselisih, dipertemukan dalam sebuah sidang untuk mencari solusi.

Kita bisa belajar melalui peristiwa ini bahwa ketika terjadi konflik di dalam jemaat, apalagi kalau sudah melibatkan dua kelompok maka perlu diadakan pertemuan bersama untuk menyelesaikan masalah yang ada. Bersyukur kalau di dalam jemaat itu sendiri dapat menyelesaikan konfliknya dengan damai. Tetapi ketika konflik itu masih terus berlangsung maka jemaat dapat melibatkan pihak ketiga yang netral dan “profesional” untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut.

Namun sayangnya, yang seringkali terjadi, adalah konflik di dalam gereja, dibiarkan saja tanpa ada usaha untuk menyelesaikannya. Seolah tidak terjadi apa-apa atau membiarkan waktu berlalu dengan harapan konflik itu nantinya akan selesai dengan sendirinya. Tidak. Konflik tidak akan selesai dengan sendirinya. Konflik itu bukan harus dihindari tetapi harus dihadapi betapa pun pahit atau menyakitkan peristiwa itu.

Karena Tuhan dapat “mengizinkan” konflik yang terjadi, sebagai ujian atau wadah untuk pertumbuhan iman, baik bagi individu anggota jemaat maupun sebagai persekutuan. Agar supaya kita semakin kuat dan tangguh dalam menghadapi tantangan hidup. Kalau konflik itu, tidak diselesaikan maka akibatnya salah satu pihak yang sedang terlibat dalam konflik atau para anggota jemaat lain yang sebenarnya tidak terlibat namun merasa tidak nyaman dengan situasi yang terjadi di jemaat, dapat meninggalkan persekutuan dan tidak lagi datang beribadah. Yang lebih memprihatinkan lagi hubungan mereka juga terputus.

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus,

Setiap konflik pasti ada sumber atau penyebabnya. Mari kita lihat beberapa sumber konflik:

  1. Perbedaan sudut pandang atau pemahaman
  2. Pertahanan ego yang berlebihan: merasa diri paling benar
  3. Pernyataan yang emosional: Contohnya bisa terjadi hanya karena mengeluarkan kata-kata dengan nada atau intonasi yang tinggi, seperti orang marah, dapat timbul konflik
  4. Tindakan yang tidak tepat atau kurang bijaksana walaupun mungkin maksudnya baik.
  5. Respon yang salah. Maksudnya ada orang yang selalu cari gara-gara untuk ribut

Selain itu saudara-saudara ada hasil survey dari lembaga kepemimpinan di Singapore, Eagles Communication, yang menyatakan bahwa sebenarnya konflik-konflik yang terjadi baik antar pribadi atau di dalam organisasi dapat dipicu akibat perbedaan-perbedaan:

1. Data: – konflik dapat terjadi karena data atau info yang keliru. Oleh sebab itu kalau kita menerima informasi dari satu pihak jangan langsung percaya atau langsung marah tetapi perlu dikonfirmasi. Perlu dicheck dan recheck dulu, apakah informasi atau datanya benar.

2. Nilai: konflik terjadi karena perbedaan beda budaya, keyakinan atau nilai-nilai.

3. Kepentingan: konflik yang terjadi karena ego, ambisi, kekuasaan – kepentingan yang subyektif seseorang. Perselisihan sering terjadi karena bukan untuk mengupayakan kepentingan bersama tetapi sebenarnya kepentingan pribadi yang subyektif

4. Struktur: Pemicu konflik bisa juga karena ketidakjelasan kebijakan atau aturan main dalam sebuah organisasi. Tidak ada garis komando dari pimpinan atau tidak ada garis koordinasi antar bagian atau komisi sehingga masing-masing berjalan sendiri

5. Hubungan: Konflik bisa juga terjadi karena tidak ada garis yang jelas antara hubungan formal dan non-formal (antara tuntutan profesionalisme di pekerjaan dengan pertemanan)

Nah, saudara-saudara kalau kita mencoba mencari pemicu konflik antara Paulus dan Barnabas, berdasarkan survey di atas, maka jelas terlihat terjadi adanya perbedaan nilai di antara mereka. Paulus dengan tegas menolak Yohanes yang disebut Markus untuk bergabung kembali dengan dia. Bagi Paulus untuk melayani standarnya jelas, mesti sungguh-sungguh. Ia tidak mau menerima Yohanes Markus yang pernah meninggalkan pelayanan. Sedangkan Barnabas masih mau memberi kesempatan kedua bagi Yohanes Markus untuk kembali turut melayani.

Akibatnya terjadilah perselisihan tajam antara Paulus dan Barnabas karena perbedaan nilai di antara mereka. Lalu bagaimana mereka menyelesaikan konflik tersebut? Sebagai pemimpin jemaat, mereka sepakat untuk tidak sepakat. Penyelesaian sebuah konflik memang sebaiknya mencapai suatu perdamaian. Tetapi ketika upaya perdamaian telah dilakukan secara maksimal untuk mencapai kesepakatan namun kalau kedua pihak toh tidak mencapai persetujuan. Maka masing-masing pihak harus menghargai pandangan yang lain. Karena kita tidak bisa memaksakan atau mengontrol orang lain.

Yang bisa kita lakukan adalah berargumentasi, memberi penjelasan atau bahkan memberi peringatan namun kita tidak dapat memaksakan kehendak kita pada orang lain. Itulah yang dilakukan oleh Paulus dan Barnabas. Perbedaan nilai tidak membuat hubungan atau relasi di antara mereka terputus begitu juga dengan tugas panggilan dan pelayanan mereka tetap berjalan. Paulus dan Barnabas berpisah di dalam pelayanan. Paulus akhirnya membawa Silas ke Siria. Sedangkan Barnabas bersama dengan Yohanes Markus pergi melayani di Siprus.

Lalu bagaimana kelanjutan hubungan Paulus dengan Yohanes Markus dan juga dengan Barnabas? Ternyata Paulus kemudian dapat menerima dan menghargai Yohanes Markus. Paulus menulis dalam II Timotius 4:11, ‘… Jemputlah Markus dan bawalah ia kemari, karena pelayanannya penting bagiku.’ Jadi hubungan Paulus dan Yohanes Markus tetap baik, begitu juga dengan hubungan Paulus dan Barnabas (I Korintus 9:6). Walaupun sempat terjadi perbedaan nilai tetapi hubungan atau relasi di antara mereka tetap terpelihara.

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus, biar bagaimana pun ketika sebuah konflik terjadi, tentu akan mendukakan hati Tuhan. Tuhan selalu merindukan agar anak-anak-Nya hidup rukun dan damai. Paulus mengingatkan kita semua dalam kitab Fiipi pasal 2, agar kita dalam kehidupan bersama tidak memikirkan dan mengutamakan kepentingan pribadi tetapi orang lain juga. Dan yang terpenting, hendaklah dalam kehidupan kita bersama sebagai anak-anak Tuhan, kita memiliki juga pikiran dan perasaan yang ada dalam Kristus (Filipi 2:5)

Kita barangkali sering mendengar kata Ibrani “Shalom” atau bahasa Indonesianya “Syalom”. Artinya damai sejahtera. Padanan kata Ibrani Shalom adalah kata Yunani Eirene. Kata Eirene ini secara konseptual bermakna: suatu keadaan tenang, damai, sentosa, misalnya tanpa huru-hara atau perang, keharmonisan antar individu, keamanan, keselamatan, kemakmuran.

Dari kata Eirene ini muncul kata Yunani Eirenepoios, yang artinya "pembawa damai/ peacemaker. Seorang pembawa damai itu mencakup "segala kenyataan yang membuat orang dapat menikmati kebaikan". Dengan demikian syalom bukan sekadar tidak adanya persoalan atau bebas dari kesulitan, tetapi berkaitan dengan segala sesuatu yang membuat dan membawa kebaikan bagi manusia. Kehadiran gereja di dunia ini seharusnya mendatangkan syalom. Setiap pengikut Kristus harus menjadi pembawa damai.

Orang yang membawa atau mengupayakan damai itulah yang akan berbahagia. Dikatakan orang yang "membawa/ mengupayakan damai" dan bukan sekadar orang yang "cinta/suka damai", karena sering kali terjadi bahwa orang-orang cinta damai pun malah bertindak salah yang menimbulkan ketidakdamaian. Contohnya, orang yang cinta damai tetapi melarikan diri dan menghindar atau tidak mau menghadapi konflik atau persoalan hidup. Lalu meninggalkan persekutuan dan pelayanan. Hal ini tidak akan membuat hidupnya damai.

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus,

Yesus Kristus adalah Juru Damai. Dan Ia telah memberikan damai itu kepada dunia, yaitu kepada murid-murid-Nya. Maka, kita sebagai murid-murid Kristus dan gereja-Nya pada masa kini, harus membawa dan membagikan damai atau damai sejahtera itu bagi sesama.
Pembawa damai itu bukan sekedar sikap pasif dari orang yang berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa, karena takut akan akibat atau risikonya. Membawa damai berarti bersikap aktif, kreatif, dan berinisiatif untuk mencari solusi atau jalan pemecahan demi perdamaian, meski jalan penuh tantangan.

Orang yang demikian itulah akan disebut anak Allah. Ungkapan "anak atau anak-anak Allah" menunjukkan adanya hubungan kekeluargaan anak dan Bapa, bukan secara fisik, tetapi secara relasional. Relasi itu berkenaan dengan Allah yang menjaga, melindungi dan mengasihi orang yang mengupayakan kedamaian sebagai anak-anak-Nya sendiri. Ini adalah anugrah atau karunia Allah semata.

Marilah kita meneruskan memberitakan dan menyebarkan kabar perdamaian dalam Yesus Kristus kepada dunia dan sesama. Gereja Tuhan harus selalu berupaya untuk hadir di tengah umat dalam gerakan yang membawa syalom, damai sejahtera. Jadi damai itu bukan hanya indah, tetapi sungguh sangat indah karena mendatangkan kesejahteraan di hati dan dalam keutuhan hidup kita secara bersama.

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus,

Saya akan mengakhiri kotbah ini dengan membacakan doa untuk perdamaian. Doa ini sering diasosiasikan dengan Santo Fransiskus dari Asisi walaupun sebenarnya tidak terdapat di dalam tulisan-tulisannya. Doa ini dipublikasikan secara luas pada masa Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Kata-kata dalam doa ini sangat inklusif sehingga menarik bagi banyak penganut agama dan kepercayaan untuk menggunakannya dalam memberi semangat kepada sesama untuk menghadirkan perdamaian di dunia ini.

Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai.
Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih.
Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan.
Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan.
Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian.
Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran.
Bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan.
Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan.
Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang.
Tuhan, semoga aku ingin menghibur daripada dihibur,
memahami daripada dipahami, mencintai daripada dicintai,
sebab dengan memberi aku menerima, dengan mengampuni aku diampuni,
dengan mati suci aku bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya.

AMIN.

Tuhan memberkati kita semua.