Pembacaan Alkitab: Matius 22:37-40

Sdr-sdr yang dikasihi Tuhan Yesus,
Philip Yancey dalam bukunya “What is so amazing about Grace”

Grace

menceritakan pengalaman pdt Tony Campolo, yang juga seorang dosen, ketika mengajukan sebuah pertanyaan kepada para mahasiswa dari sebuah universitas sekuler. Pertanyaannya, apa yang kalian ingat dari pelajaran yang dikatakan atau diajarkan Yesus? Kebanyakan jawaban yang diberikan adalah “Kasihilah musuhmu”.

Ternyata ajaran Yesus untuk mengasihi musuh, sangat menarik perhatian orang-orang yang di “luar” sana, orang-orang yang tidak percaya kepada Yesus. Apalagi kalau kita melihat apa yang terjadi di dunia saat ini, kehidupan yang sudah sangat individualistis. Tidak peduli terhadap orang lain, yang penting adalah diri sendiri. Setiap orang merasa dirinya yang paling benar. Sering muncul kata “Narsis”. Dari kata Narsis itu timbul istilah narsisme. Narsisme adalah perilaku memperhatikan diri sendiri secara berlebihan.

Salahkah itu? Sebetulnya memberi perhatian pada diri sendiri adalah sehat dan wajar. Mencintai diri sendiri sebetulnya tidak salah. Tetapi Narsis mencintai diri sendiri secara berlebihan. Sebagai akibatnya, ia sulit mencintai orang lain. Ada banyak teman yang jatuh cinta, tetapi Narsis tahan harga. Narsis tidak bergeming. Ia tidak tertarik pada orang lain. Ia hanya tertarik pada diri sendiri. Itu ciri perilaku narsistik: susah menerima cinta, susah memberi cinta.

Ciri lain dari orang berjiwa narsistik adalah yang didengarnya hanyalah pendapatnya sendiri. Ia berbicara dan berunding dengan orang lain, namun ia hanya bisa mendengar pendapatnya sendiri. Tidak ada tempat untuk pendapat orang lain. Yang berlaku hanya pendapatnya sendiri, perasaannya sendiri dan kepentingannya sendiri. Ia bisa mendengar, tetapi tidak bisa mendengarkan. Ia tidak dapat mendengar pandangan atau posisi dari orang lain. Itu adalah sebuah egosentrisme.

Egosentrisme adalah pemusatan pada diri sendiri.

Me

Artinya, segala sesuatu dilihat hanya dari sudut pandang sendiri. Pada anak kecil, perilaku egosentris mungkin masih bisa dimaklumi karena memamng otak mereka belum berkembang sempurna. Anak-anak memang belum bisa melihat dari sudut pandang orang lain. Tetapi yang repot jika orang sudah dewasa namun masih berpola pikir egosentris; hubungannya dengan orang lain gampang rusak. Ia hanya mau menang sendiri. Ia cuma memikirkan diri sendiri. Sebab ia tidak bisa melihat dari perspektif orang lain. Tidak bisa merasakan perasaan orang lain. Tidak bisa mempertimbangkan kepentingan orang lain. Tidak bisa membela hak orang lain.

Kalau kebiasaan ini berlangsung terus, sikap egosentris bisa berubah menjadi sikap egois.
Ciri lainnya adalah sulit mengagumi orang lain. Sulit mempercayai orang lain. Sulit akrab dengan orang lain. Ia tidak mampu menciptakan hubungan yang mendalam dengan orang lain. Ia terisolasi dan umumnya tidak mempunyai banyak teman.

Ada salah paham, yang mengira bahwa narsisme sama dengan cinta pada diri sendiri. Sebenarnya tidak. Orang yang berjiwa narsistik sebetulnya tidak mampu mencintai dirinya. Yang diperbuatnya adalah mementingkan dirinya secara berlebihan. Orang yang narsistik bukan mengasihi diri, melainkan mengasihani diri. Jadi bolehkah kita mencintai diri sendiri? Tentu saja boleh. Tuhan Yesus pun memberi perintah, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu” (Mat 22:39). Siapa obyek cinta menurut perintah itu? Pertama, “dirimu sendiri”. Kedua, “sesamamu manusia”. Cinta terdiri dari dua segi. Pertama, mengasihi diri sendiri seperti mengasihi orang lain. Kedua, mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri.

Apa artinya mengasihi diri sendiri? Mengasihi diri sendiri bukan berarti egosentris, egois, menang sendiri, atau hanya memikirkan diri sendiri. Mengasihi diri bukan mengasihani atau meratapi diri sendiri. Tetapi mengasihi diri sendiri adalah justru menghargai diri, menyukai diri, merawat diri, merasa puas atas karya diri dan mensyukuri keadaan diri dengan segala kelemahan dan keunggulannya. Dengan lain perkataan, bisa menerima seorang “aku” seperti menerima seorang “engkau”.

Apa artinya mengasihi orang lain? Itu berarti bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Bisa melihat dari sudut pandang orang lain. Bisa membela kepentingan orang lain. Bisa merasa perih dengan orang yang terluka dan bisa merasa bangga dengan orang yang berkarya. Dengan lain perkataan, bisa memperlakukan seorang “engkau” seperti memperlakukan seorang “aku”. Seorang “engkau” bukan hanya objek tetapi juga subjek. Jadi yang terjadi adalah relasi antara aku dengan engkau.

Lalu apa yang menjiwai kasih pada diri sendiri dan kasih pada orang lain? Ini yang terpenting bagi kita, pengikut Kristus. Jiwanya adalah kasih Tuhan - Kasih yang tulus dan tanpa pamrih. Tuhan Allah yang sudah lebih dahulu mengasihi “aku” dan “engkau”. Jadi di sini ada dua garis. Seperti gambar sebuah salib, ada garis horizontal yakni kasih antara “aku” dan “engkau” dan ada garis vertikal antara “kita” dengan “Tuhan”.

Kruis

Kedua garis itu tidak terpisah, tetapi juga tidak sama. Sebab ada bentuk cinta yang tidak patut kita berikan pada diri sendiri dan pada orang lain, kecuali kepada Tuhan. Bentuk cinta itu adalah ibadah. Kita mencintai diri, tetapi tidak beribadah pada diri sendiri. Kita mencintai seseorang, tetapi kita tidak menyembah dia.

Ibadah dan sembah hanya dialamatkan kepada Allah. Itu sebabnya Yesus memberi perintah, hukum pertama,” Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” dan hukum kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri (Mat 22:37-39). Artinya, kalau kita sungguh-sungguh mengasihi Allah maka itu berarti kita wujudkan dengan cara mengasihi sesama.

Namun, kita tahu, betapa sulitnya mengasihi orang lain. Oleh karena kita cenderung untuk dikasihi orang lain daripada mengasihi orang lain. Apalagi, kalau kita harus mengampuni dan mengasihi orang yang kita benci atau yang telah menyakiti kita. Tidak mudah. Dunia saat ini “haus” dan “lapar” akan kasih karunia. Tidak mengherankan kalau lagu “Amazing Grace” masih dapat mendekati tangga lagu Top Ten dunia, dua ratus tahun setelah diciptakan.

Sebenarnya, kasih karunia adalah ciri hidup kristiani. Kasih karunia adalah pemberian atau sumbangsih terbesar kekristenan bagi dunia, yang kekuatannya melebihi kekerasan, rasisme, ketidakadilan dan kebencian. Dunia tidak dapat menawarkan kasih karunia. Sebenarnya ini adalah kesempatan yang baik untuk “gereja” atau orang-orang kristen memperlihatkan dan membagikan kasih karunia bagi dunia.

Namun sayang, seperti yang diceritakan oleh Paul Tournier, seorang dokter berkebangsaan Swiss dalam bukunya “Guilt and Grace”,

Paul Tournier

banyak orang yang mencari kasih karunia di gereja, justru seringkali menemukan ketiadaan kasih karunia. Tournier menyimpulkan dalam bukunya, apa sebenarnya yang dicari para pasiennya adalah kasih karunia. Namun di beberapa gereja, mereka bukan dirangkul tetapi justru merasa dihakimi dan dipermalukan oleh orang-orang yang namanya kristen, yang merasa diri paling benar dan saleh.

Ada sebuah kisah nyata yang terjadi sebelum kami datang ke negeri Belanda. Kesaksian dari seorang ibu kristen. Peristiwanya terjadi beberapa tahun yang lalu di Poso, Sulawesi Tengah. Seorang ibu kristen harus kehilangan putri kesayangan-nya yang dibunuh secara sadis oleh seseorang yang berasal dari kelompok ekstrimis. Putrinya tidak saja dibunuh tapi tubuhnya dipotong-potong.

Si pembunuh sadis ini akhirnya berhasil ditangkap lalu kemudian di penjara di Jakarta. Suatu hari, dalam penatayangan di sebuah siaran Televisi, si ibu ini mengatakan bahwa ia sungguh sedih karena kehilangan putrinya yang ia sangat kasihi tapi ia juga ingin bertemu dengan si pembunuh putrinya itu untuk memaafkan dan mengasihinya.

Tenyata siaran ini ditonton oleh si pembunuh di penjara. Mendengar perkataan si ibu, si pembunuh ini menangis dan tidak percaya bahwa sang ibu mau memaafkan dan mengasihi dia yang telah membunuh putrinya secara sadis. Akhirnya, keduanya dipertemukan oleh pihak kepolisian.

Ketika sang ibu, ditanya mengapa ia mau mengampuni dan mengasihi pembunuh anaknya. Ia menjawab, “Setiap minggu saya ke gereja dan diajarkan bahwa Tuhan telah mengampuni dosa-dosa kita dan mengasihi kita. Saya sudah mengalami sendiri anugerah pengampunan dan kasih Allah yang begitu besar dalam hidup saya. Oleh sebab itu, saya pun terpanggil untuk juga mengampuni dan mengasihi semua orang termasuk musuh saya. Kalau saya tidak mau mengampuni dan mengasihi pembunuh anak saya, percuma saja saya pergi ke gereja.”

Tidak banyak orang kristen, yang berespon benar seperti kisah sang ibu di atas. Ibu itu tentu saja membenci perbuatan keji dari sang pembunuh putrinya, tetapi ia diberi kemampuan dari Tuhan untuk dapat mengampuni dan mengasihi orang yang telah membunuh putrinya secara sadis. Kita yakin bahwa itu bukan kehebatan dan kekuatan dari sang ibu, tetapi itu adalah kekuatan kasih karunia Allah.

Dalam kenyataan hidup ini, betapa seringnya kita, ketika membenci perbuatan tidak benar dari seseorang tetapi kita tidak dapat menahan diri untuk juga membenci orangnya. Bahkan tidak jarang, kita mengajak orang-orang lain juga untuk membenci orang itu. Jadi sebenar-nya ada perbedaan, antara melakukan penilaian (making judgment) yang berkaitan dengan perbuatan atau isu-nya dengan sikap menghakimi (judgmental) yang diarahkan kepada orangnya. “Bencilah dosanya, tetapi kasihilah si pendosa”. Ini yang diajarkan Tuhan Yesus.

Sdr-sdr, sebentar lagi kita akan menerima sakramen Perjamuan Kudus. Melalui roti yang melambangkan tubuh Kristus dan air anggur yang melambangkan darah Kristus, kita diingatkan kembali akan pengorbanan dan kematian Kristus di atas kayu salib, agar dosa-dosa kita ditebus dan diampuni. Kristus rela menyerahkan nyawa-Nya demi membayar hutang dosa-dosa kita karena kasih-Nya begitu besar kepada kita.

Pemazmur 103 dalam ayat 8 sampai ayat 11 mengatakan hal ini, “Tuhan adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamanya Ia mendendam. Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita, tetapi setinggi langit di atas bumi demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang takut akan Dia…”

Sdr-sdr yang dikasihi Tuhan Yesus,
Sebagai orang-orang yang telah diselamatkan dan diampuni dosa-dosanya, kita terpanggil untuk membagikan kasih karunia Allah itu kepada sesama kita, siapa pun dia. Di sekeliling kita, ada begitu banyak orang yang haus dan lapar akan kasih karunia Allah. Kasih karunia itu tidak hanya dibagikan dengan perbuatan baik tetapi juga dengan kerelaan untuk mengampuni orang-orang yang telah menyakiti kita. Maukah kita memberi dan membagikan kasih karunia Allah itu kepada sesama sebagai wujud ungkapan syukur akan kasih karunia Allah yang telah kita alami dalam hidup kita?

Tahun 1987, sebuah bom IRA (Irish Republican Army) mengubur Gordon Wilson dan putrinya yang berumur dua puluh tahun di bawah reruntuhan yang tebal. Putrinya meninggal dan hanya Gordon yang selamat. Dia berkata tentang para pembom itu, “Saya kehilangan putri saya, tapi saya tidak dendam…saya akan berdoa, malam ini dan setiap malam, kiranya Allah mengampuni mereka.” Ucapan Gordon ini, menarik perhatian media massa. Dari duka seorang pria dan ayah, dunia dapat melihat seberkas cahaya pengharapan melalui keajaiban kasih karunia. Tuhan memberkati kita semua.

AMIN.