I Petrus 1:13-22

Pada akhir Januari 1736, ada sebuah kapal laut yang sedang berlayar menuju Savannah, Georgia, Amerika, diserang oleh badai. Kapal laut itu terombang ambing dan terguncang dengan hebat di sela-sela gelombang yang tingginya hingga enam meter di laut lepas Atlantik.

Ada seorang pendeta muda gereja Anglikan, pada saat itu gemetar ketakutan. Beberapa orang lain di sekelilingnya berteriak panik dan kapal tampaknya semakin sulit dikendalikan. Yang menarik adalah memang sebagai pendeta, orang muda itu memberitakan Injil – kabar sukacita tentang karya keselamatan Allah kepada orang lain, tetapi ia sendiri takut mati.

Pendeta itu terheran-heran, karena ditengah-tengah suasana yang panik dan berbahaya, ternyata ada beberapa orang dari persaudaraan Moravia yang sedang menyanyikan Mazmur dengan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Pada saat gelombang laut mulai tenang, pendeta itu mendekati pemimpin mereka dan bertanya, “Apakah Anda tidak takut badai?” Mereka menjawab, “Tidak, Tuhan ada di pihak kami. Kami tidak takut mati.

Pemimpin dari Persaudaraan Moravia itu kemudian balik bertanya kepada pendeta muda itu, “Apakah Bapak pendeta mengenal Yesus Kristus?” Pendeta menjawab, “Ya tentu, saya tahu bahwa Ia adalah juruslamat dunia ini.” Pemimpin itu kemudian bertanya, “Tetapi apakah Bapak yakin kalau Yesus Kristus telah menyelamatkan bapak? Pendeta itu menjadi bingung dan menjawab dengan perasaan tidak tenang, “Saya harap demikian”.

Saudara-saudara, pendeta muda dalam cerita di atas tadi adalah John Wesley, yang dikenal pendiri gereja Methodis.

John Wesley

Ia telah mempelajari teologi, menjadi pendeta dan menobatkan banyak orang. Ia melakukan disiplin rohani dengan berdoa berjam-jam, berpuasa dan berbuat banyak kebaikan. Namun pada saat ditanya secara pribadi, apakah ia yakin Tuhan telah menyelamatkannya, ia ternyata ragu.

Selama beberapa tahun pertanyaan itu terus mengusik batinnya. Terlebih lagi setelah pelayanannya di Savannah, Amerika, gagal dan hanya berbuahkan konflik di dalam jemaat. Pada tanggal 1 Februari 1738, Wesley kembali ke London dalam keadaan terpukul dan depresi. Ia tidak yakin akan imannya sendiri dan masa depannya. Namun ia terus mencari jawab atas pergumulan imannya.

Sampai pada tanggal 20 mei 1738, Wesley diundang ke sebuah persekutuan Kristen. Di pertemuan itu ada seseorang yang membacakan pengantar Luther untuk kitab Roma. Ketika Wesley mendengarkannya, terjadi suatu perubahan dalam hatinya. Ia mengatakan, “Hati saya terasa hangat sebab suatu jaminan diberikan Allah kepada saya: bahwa Ia telah menghapuskan semua dosa saya dan menyelamatkan saya dari hukum dosa dan maut.” Dan saya harus menerima berita keselamatan itu dengan iman.

Inilah kisah perjumpaan pribadi Wesley dengan Tuhan dan juga merupakan titik balik dalam kehidupan Wesley. Dulu ia menjalankan peraturan agama yang ketat dengan harapan agar melalui usaha-usahanya ini ia dapat selamat. Namun sekarang Roh Kudus meyakinkannya bahwa ia diselamatkan hanya karena kasih karunia (anugrah) Allah saja. Perbuatan baik dan disiplin rohani yang dilakukannya adalah buah ungkapan syukur setelah ia diselamatkan.

Titik balik dalam kehidupan iman Wesley ini yang kemudian memberinya keberanian untuk melakukan pembaharuan besar-besaran dalam kekeristenan di Inggris dan koloni-koloninya, yang pada saat itu sedang berada pada titik terendahnya. Kekristenan pada waktu itu hanya sekedar ada dan melakukan ritual keagamaan saja. Walau mendapat kecaman dan penganiayaan dari Gereja Anglican, Wesley dan pengikutnya tetap mengajak masyarakat Inggris untuk kembali hidup di dalam Tuhan.

Ia mendobrak praktek-praktek dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan prinsip Alkitab, misalnya praktek jual beli budak. Ia juga salah seorang yang mempelopori khotbah di luar gereja (misalnya di stadion, di lapangan terbuka, bahkan di halaman gereja dan di kuburan) yang pada saat itu dianggap tabu oleh gereja Anglikan. Ia juga mengembangkan pelayanan gereja yang luar biasa untuk menolong orang-orang miskin dan sakit.

Saudara-saudara yang dikasihi Kristus,
Kisah “kelahiran baru” John Wesley ternyata berawal dari sebuah keraguan. Ia merasa tidak yakin dan ragu akan keselamatannya! Dalam hidup kita sehari-hari, masih ada pandangan yang mengatakan bahwa kalau kita masih banyak bertanya, masih selalu ragu, berarti kita kurang beriman. Sebaliknya orang yang tidak pernah ragu dan tidak pernah bertanya adalah orang yang lebih beriman. Apakah benar demikian?

Kita tidak dapat mengukur iman seseorang dari sudut apakah ia banyak bertanya atau tidak. Atau dari apakah ia pernah merasa ragu atau tidak. Bila seseorang masih mau bertanya, bahkan suatu saat merasa ragu, bukankah itu berarti orang itu justru bersungguh-sungguh. Ia tidak mau hanya sekedar beriman tetapi tidak tahu dan tidak menyakini imannya.

Seorang teolog berkata, “Hanya orang beriman, yang bisa merasa ragu dan hanya orang yang pernah ragu bisa beriman.” Hal inilah yang kita lihat melalui kehidupan John Wesley. Ia pada awalnya sangat takut mati dan ragu akan keselamatannya, akhirnya menjadi seorang Kristen yang sungguh hidup di dalam Tuhan. Sebelum menutup mata dan menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 88 tahun, dengan dikelilingi oleh para sahabatnya, kata-kata terakhir Wesley adalah “Farewell, farewell… the best of all is God is with us.”

John Wesley pernah berkata, “Saya tidak takut kalau gereja Methodist tidak ada lagi di Eropa dan Amerika, tetapi saya kuatir kalau gereja itu hanya menjadi institusi yang “mati”, artinya hanya menjadi tempat mengadakan ritual keagamaan tetapi tidak ada kuasa yang dapat mengubah dan memulihkan hidup para anggotanya.

Menjadi orang kristen, bukan saja menjalankan ritual keagamaan atau aturan-aturan iman, melainkan dapat menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari dan yang paling penting menemukan Tuhan secara “pribadi”. Kristus hidup di dalam kita dan kita hidup di dalam-Nya. Kita benar-benar merasakan dan mengalami bahwa kasih dan kuasa Tuhan, hadir dan nyata di dalam kehidupan sehari-hari kita.

Apa yang harus kita lakukan supaya kita benar-benar hidup di dalam Dia? Penulis surat Petrus berbicara mengenai 3 ciri orang-orang yang hidup di dalam Kristus:

1. Hidup dalam ketaatan dan kekudusan (ayat 15)
Dalam I Petrus 1:15 dikatakan, “…hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus telah memanggil kamu.” Kita dipanggil untuk menjadi kudus dalam seluruh hidup kita. Apa artinya kudus dalam Alkitab? Artinya kita dipisahkan Allah, lain daripada yang lain, berbeda daripada sekitarnya untuk menjalankan tujuan atau misi Allah.

Sering dikatakan, orang Kristen atau Gereja harus lain dan berbeda. Tetapi apa yang lain dan berbedanya? Kehidupan atau gaya hidup kita sebagai orang kristen. Hidup kita tidak menjadi batu sontohan atau teladan yang tidak baik tetapi sebaliknya hidup kita di dalam Tuhan harus mencerminkan kasih Kristus dan menjadi berkat bagi banyak orang.

Mengapa seorang seperti Mahatma Gandhi yang pernah begitu dekat dengan ajaran Kristus, tetapi tidak menjadi orang Kristen? Karena ia melihat kehidupan orang-orang Kristen yang tidak meneladani hidup dan ajaran Tuhan mereka. Untuk apa kita menjadi Kristen, kalau hidup kita tidak kelihatan seperti orang-orang yang telah diselamatkan dan tidak mempraktekkan iman kita pada Kristus?”

2. Hidup dalam ketakutan (ayat 17)
Selintas ayat ini terdengar aneh. Tuhan banyak sekali berkata, “Jangan takut, jangan kuatir”, tetapi kog di ayat ini, kita dinasehatkan supaya kita hidup dalam ketakutan.
Apa artinya? “Hidup dalam ketakuatan” adalah hidup yag tidak sembarangan dan serampangan atau “semau gue”. Tetapi kita harus menjaga pikiran, tutur kata dan tingkah laku kita sebaik-baiknya. Ini konsekuensinya kalau kita sungguh yakin, bahwa Tuhan ada dan hadir di dalam hidup kita maka kita tidak hidup sembarangan.

Benar kita memang hanya manusia biasa, bukan malaikat. Tetapi orang hidupnya sudah tidak peduli dan tidak takut lagi berbuat dosa adalah orang yang tidak takut kepada Allah, Ia hanya akan hidup berdasarkan ego dan hawa nafsunya. Ia memakai kehendak bebas yang Tuhan karuniakan hanya untuk menyenangkan dirinya. Kalau kita benar-benar hidup di dalam Kristus, maka kita tidak akan sembarangan dalam hidup ini.

Het is waar dat we ook maar gewone mensen zijn, geen engelen. Maar de persoon in zijn leven die er niets om geeft en niet langer bang is om te zondigen, is de persoon die God niet vreest, hij zal alleen leven op basis van zijn ego en lust. Hij gebruikt zijn door God gegeven vrije wil alleen maar om zichzelf te plezieren. Als we echt in Christus leven, dan zullen we in dit leven niet zorgeloos zijn.

3. Hidup dalam kasih persaudaraan
Tuhan tidak hanya minta supaya kita menjadi orang-orang yang setia dan menjaga kekudusan bagi diri kita sendiri dan tidak mau memperhatikan orang lain. Tuhan Yesus dalam kotbah-Nya di bukit, telah menyatakan identitas dan peran kita: “Kamu adalah garam dan terang dunia” artinya kita tidak dapat hidup sendiri tanpa berdam-pak bagi orang lain. Fungsi garam dan terang berguna atau bermanfaat bagi manusia

Kelahiran gereja Metodis di abad 17 yang dipelopori oleh John Wesley membawa dampak positif luar biasa bagi kehidupan masayarakat Inggris pada waktu itu yang berjuang dalam kemiskinan dan kebobrokan moral. Orang-orang kristen pada waktu itu, tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga menjadi pelaku Firman Tuhan dalam hidup mereka sehari-hari. Melalui teladan hidup dan kasih persaudaran, kehadiran gereja, waktu itu dapat menyelamatkan Inggris dari kehancuran dan kekacauan.

Sejarah dan teladan hidup perjuangan John Wesley menyisakan pertanyaan bagi kita semua. Apa dampak dari kehadiran dan kehidupan kita baik secara pribadi atau sebagai gereja, GKIN di Belanda? Apakah kita hanya sekedar menjadi orang kristen atau benar-benar hidup di dalam Kristus dengan menjaga kekudusan dan kasih persaudaraan?

Saya ingin menutup renungan ini dengan kutipan perkataan John Wesley:
“Lakukanlah semua hal baik yang anda bisa, dengan segala cara yang anda bisa, di semua tempat yang anda bisa, kepada semua orang yang anda bisa, selama yang anda bisa.” Tuhan memberkati kita.

Amin