Pembacaan Alkitab: Lukas 24:13-16;28-31

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus,

Bagaimana perasaan kita, saat harus kehilangan seseorang, yang bukan hanya kita sangat kasihi tetapi juga orang yang kita harapkan dan andalkan dalam hidup kita? Terlebih lagi kalau orang itu, telah lama hidup bersama kita dalam suka dan duka. Wajar dan manusiawi kalau kita bisa begitu sedih dan kehilangan. Kita merasakan ada sesuatu yang hilang dari bagian hidup kita. Berada dan menghadapi situasi duka seperti ini tentu tidak mudah. Untuk bisa terus melangkah melanjutkan perjalanan hidup ini terasa sangat berat.

Itulah yang sedang dirasakan dan dialami oleh dua orang murid Yesus dalam pembacaan Alkitab kita pada hari ini. Kedua murid Yesus ini, bukan termasuk yang kedua belas murid Yesus. Namun sebagai pengikut Yesus, tentu mereka sangat mencintai dan sekaligus kehilangan Yesus, Sang Guru mereka. Peristiwa kematian Yesus menjadi “viral” pada waktu itu. Karena Yesus, seorang nabi yang diharapkan untuk membebaskan bangsa Israel ternyata dihukum mati secara hina di salib.

Yang menarik dari kisah kedua murid Yesus dalam perikop ini adalah mereka sedang berada di dalam perjalanan menuju sebuah kampung bernama Emaus. Dalam ayat 14, dikatakan dalam perjalanan itu, mereka bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang telah terjadi. Kita lihat di sini, mereka bukan sekedar berjalan bersama dan bercakap-cakap tetapi juga saling berbagi (sharing) apa yang terjadi di dalam kehidupan mereka.

Bahkan dalam ayat 15 dikatakan mereka…bertukar pikiran. Itulah yang seharusnya yang terjadi di dalam kehidupan atau persekutuan para murid Yesus. Bukan saling menonjolkan diri, curiga, atau bersaing satu dengan yang lain tetapi saling berbagi pengalaman hidup serta saling mendukung dalam menanggung beban hidup. Ditengah perjalanan dan pergumulan hidup mereka, ternyata mereka tidak berjalan sendiri. Dikatakan masih dalam ayat ke 15, Yesus datang mendekati mereka dan berjalan bersama-sama dengan mereka. Itulah Imanuel. Allah beserta kita. Dalam situasi apa pun yang kita sedang hadapi dan alami saat ini, ingat kita tidak sendirian tetapi Tuhan Yesus berjalan bersama kita.

Kalau kita perhatikan ayat yang ke 16, ada sesuatu yang menarik perhatian kita yakni ternyata kedua murid Yesus ini, tidak mengenali Yesus, Guru mereka. Dikatakan ada sesuatu yang menghalangi mata mereka. Bagian ini sangat menarik untuk kita bahas. Mengapa? Karena hal yang sama bisa terjadi pada kita. Kita sebagai murid Yesus yang mencintai-Nya, banyak berbicara dan bercerita mengenai Yesus, merasa berada dekat dengan Yesus namun tidak mengenal Dia. Sungguh ironis bukan.

Karena itu kita perlu bertanya: apa yang dimaksud penulis Lukas, “sesuatu yang menghalangi mata mereka sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia?” Apa “sesuatu” itu. Ada bermacam-macam teori mengenai hal ini? Ada yang mengatakan karena pada waktu itu sudah sore hari dan mereka sedang berjalan kearah Barat (Emaus itu letaknya di sebelah Barat Yerusalem) tempat matahari terbenam. Jadi hari cepat sekali menjadi gelap sehingga mereka tidak mengenali Yesus.

Teori yang lain mengatakan bahwa setelah Yesus bangkit dari kematian, Ia adalah Yesus lain yang berbeda, yang telah berubah dibandingkan dengan Yesus yang mereka kenal sebelumnya. Itu sebabnya Maria Madgalena juga tidak dapat mengenali Dia. Memang benar bila dikatakan bahwa Yesus telah berubah karena Ia juga adalah Allah dan Roh. Sehingga Ia bisa tiba-tiba muncul dan tiba-tiba lenyap. Ia bisa masuk begitu saja sekalipun semua pintu dan jendela dikunci rapat-rapat.

Suadara-saudara, semua ini adalah kemungkinan. Semua ini adalah factor-faktor dari luar diri mereka (matahari terbenam, Yesus yang berubah). Alm Pdt Eka Darmaputra berpendapat apabila faktor-faktor ini memang benar ada, bisa saja faktor-faktor ini turut mempengaruhi. Namun factor-faktor dari luar ini bukanlah faktor utama. Faktor utamanya terletakdalam diri murid Yesus sendiri.

Salah satu faktor utama di dalam diri manusia yang dapat menghalangi orang melihat dengan jelas adalah penderitaan, kesedihan, kedukaan. Dan dua orang murid Yesus itu betul-betul sedang sedih dan berdukacita. Ayat 17 b mengatakan “Maka berhentilah mereka dengan muka muram”. Sangat sedih.  Benar matahari pada waktu itu mulai terbenam, dan hari telah mulai gelap. Namun, yang lebih gelap sebenarnya adalah hati mereka.

Ada kata-kata mutiara yang mengatakan, “Penderitaan atau kesedihan itu dapat membuat orang yang kuat menjadi semakin kuat. Ada pula yang mengatakan bahwa kadang-kadang Tuhan membiarkan mata kita menangis. Untuk apa? Supaya, air mata itu membersihkan mata kita sehingga kita dapat melihat lebih jelas tangan Tuhan terulur kearah kita.

Tetapi apa itu berarti bahwa semakin besar penderitaan kita akan semakin dekat dengan Tuhan? Belum tentu! Kalau setelah berusaha terus menerus, setelah berdoa terus menerus ternyata kesulitan tidak mau hilang-hilang juga, malah bertubi-tubi datang kesulitan-kesulitan yang lain, apa yang bisa terjadi? Sebaliknya, kita mulai kecewa dan frustrasi. Kita berhenti berdoa. Kita akan mengatakan, “Percuma, untuk apa berdoa? Toh tidak menolong apa-apa!”

Penderitaan dapat membuat orang semakin kuat, tetapi penderitaan juga dapat menghancurkan hidup seseorang. Kalau begitu kita bertanya: apa sebabnya bagi yang satu penderitaan itu menguatkan dan bagi yang lain menghancurkan? Sikap mental kita, yakni apa yang menguasai hati dan pikiran kita, ketika kita menghadapi penderitaan itu. Bagi orang yang optimis, persoalan itu dilihat sebagai tantangan yang justru membuat ia lebih bergairah dan bersemangat untuk mengatasinya.

Namun bagi orang yang pesimis, penderitaan adalah bagaikan bencana. Persoalan yang relatif kecil akhirnya dilihat sebagai persoalan yang amat besar karena persoalan itu terus dipikir dan dirasa dalam hati. Semua dianalisis sehingga menjadi “over thinking”. Akibatnya, ia menjadi tidak berdaya!

Ada kemungkinan sikap mental kedua murid Yesus yang berjalan ke Emaus itu, adalah seperti itu. Habis sudah! Tidak ada harapan lagi! Ini sebenarnya “sesuatu” yang telah menghalangi mata mereka sehingga sekalipun mereka murid Yesus, mencintai Yesus, membicarakan Yesus dan berjalan bersama dengan Yesus namun mereka tidak mengenali Yesus.

Di hati mereka, di benak mereka, Yesus sudah mati. Yesus sudah tamat! Bukan karena iman atau kasih mereka kepada Yesus telah berkurang. O…tidak. Namun bagi mereka saat itu, Yesus sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk mereka. Dan mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi bagi Yesus.

Bukankah tidak sedikit orang Kristen yang seperti ini? Percaya kepada Yesus, mengikut Yesus, mencintai Yesus dengan segenap hati tetapi Yesus yang masih tergantung di kayu salib. Sehingga pada saat mereka berhadapan dengan masalah atau persoalan yang berada di luar kendalinya, mereka terpuruk dan tidak berdaya. Di manakah Tuhan mereka? Padahal Tuhan mereka sudah bangkit dari kematian.

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus,

Memang ada pelbagai macam tafsiran mengenai apa yang menyebabkan mata kedua murid itu “terhalang” untuk mengenali Yesus. Namun melalui kisah ini, kita mau belajar bahwa dalam perjalanan kedua murid ini menuju Emaus ternyata merupakan suatu perjalanan yang menuju pada pemulihan atau ada yang menyebutkan “pencerahan”. Ada proses dari mata mereka yang “terhalang” menjadi mata yang “terbuka” sehingga mereka mampu mengenali Yesus.

Apa yang terjadi, di dalam perjalanan bersama dengan Yesus yang sudah bangkit ini? Ada beberapa pertanyaan yang diajukan Yesus kepada mereka. Pertama, ia mengajukan pertanyaan, “Apakah yang kamu percakapkan selama kamu berjalan?” Melalui pertanyaan ini sebenarnya Yesus bertanya, “How are you?” Bagaimana keadaanmu? Apa yang kamu rasakan? Yesus menanyakan keadaan mereka.

Melalui pertanyaan ini, Yesus bukan hanya berbasa basi atau kata orang Jakarta, kepo (artinya ingin tahu urusan orang lain). Yesus mau menunjukkan bahwa Ia sungguh hadir bagi mereka dan ingin ikut merasakan penderitaan mereka. Lebih jauh, Yesus ingin masuk ke dalam posisi orang yang berbicara dengan-Nya. Ia mengajukan pertanyaan, Apakah itu?” (ay 19) Jelas dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Jesus, fokusnya bukan kepada diri-Nya tetapi pada apa yang sedang dialami kedua murid-Nya

Kleopas, salah seorang dari mereka segera menjawab dan dengan panjang lebar apa yang membuatnya sangat sedih. Bahkan Kleopas bukan hanya sekedar menceritakan fakta- apa yang terjadi melainkan juga menceritakan perasaan yang ada di lubuk hatinya, kesedihan dan juga kekecewaannya. (curhat). Di tengah-tengah tuturan kisah yang menyayat hati itu, tiba-tiba Yesus menginterupsi dengan kembali mengajukan perkataan yang menghentak.

Ia berkata, “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!” Seolah-olah perkataan ini membangunkan Kleopas dan temannya dari keterpurukan dalam kesedihan mereka. Yesus memang mendengarkan cerita Kleopas dengan penuh perhatian. Ia berempati dengan mereka namun Ia tidak ikut terseret dengan keputus-asaan mereka.

Ia menolong Kleopas untuk menanggalkan kekeliruannya dalam mencerna apa yang terjadi. Yesus menolong Kleopas untuk menghentikan pola pikir atau cara pandang sebagai manusia yang keliru dan menunjukkan “blind spot” yang tidak dilihat dan disadari oleh Kleopas. Yesus ingin mengangkat “selaput dari mata mereka” yang membuat mereka tidak dapat melihat dengan baik. Dan setelah itu, Ia memberikan pola pikir atau cara pandang yang baru yang terkait dengan rencana Alah dan ajaran Kitab Suci.

Selanjutnya, Ia berkata “Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?”

Kita lihat di sini, Yesus tidak memarahi, menghakimi atau memaksa mereka untuk memiliki cara pandang yang baru melainkan membimbing mereka dengan sabar dengan menjelaskan apa yang tertulis di dalam seluruh Kitab Suci.Inilah percakapan yang dilakukan Yesus sepanjang perjalanan menuju Emaus.

Suatu percakapan atau obrolan ringan dalam perjalanan ini ternyata membawa dampak yang luar biasa kepada Kleopas dan temannya. Mata mereka dikatakan menjadi terbuka. “Ketika itu terbukalah mata mereka dan mereka pun mengenal Dia...” (ayat 31). Perjalanan bersama dengan Yesus ternyata membawa Kleopas dan temannya pada pemulihan. Mereka dapat mengenali Tuhan mereka. Dan juga memulihkan perasaan mereka dari keadaan sedih dan muram menjadi sukacita dan dikatakan, hati mereka berkobar-kobar (ayat 32)

Sdr-sdr, ternyata untuk menjadi murid Yesus, tidak cukup kita hanya mencintai dan melayani Dia dengan segenap hati untuk dapat mengenal Dia sesungguhnya. Kita perlu mengalami “perjumpaan pribadi” dengan Yesus yang bangkit. Akibat perjumpaan dan percakapan selama perjalanan itu, kedua murid Yesus ini dipulihkan dari rasa keterpurukan, kesedihan dan kehilangan. Bahkan mereka tidak sabar untuk menunggu keesokkan harinya. Mereka langsung bangun dan kembali berjalan lagi menuju Yerusalem untuk memberitahukan perjumpaan dengan Yesus ini kepada murid-murid yang lain.

Saudara-saudara, percakapan yang dilakukan oleh Yesus ini dalam dunia counseling modern dapat disebut sebagai friendship counseling: upaya saling menolong dan memulihkan di antara teman atau anggota jemaat. Upaya saling memulihkan ini dapat dilakukan:

  1. Mengajukan pertanyaan dan menanyakan kabar teman yang kita ajak bicara. Kita hadir, memberi diri dan waktu kita serta dengan sabar mendengarkan cerita mereka. Kehadiran dengan telinga yang bersedia mendengar saja sudah membantu melegakan pergumulan mereka.
  2. Mengingatkan teman kita akan kehadiran Tuhan yang sudah bangkit dan hidup. Persoalan ada di hadapan kita. Tetapi ada juga Yesus di situ. Yesus yang lebih besar dari persoalan yang bagaimana pun besarnya. Masalahnya beban hidup dan kesedihan yang dalam dapat menutupi mata kita. Karena itu kita perlu saling mengingatkan akan berkat dan cinta kasih Tuhan dalam hidup kita.

Saudara-saudara yang terkasih, setiap kita tentu pernah memiliki “perjalanan ke Emaus kita masing-masing”, perjalanan di kala hidup terasa berat, serba tidak pasti dan melelahkan. Dengan semangat kebangkitan Kristus, marilah kita saling peduli satu sama lain. Di mana pun kita berada biarlah kehadiran kita dapat menjadi berkat. Tidak perlu dengan perbuatan yang besar-besar melainkan dengan obrolan ringan sehari-hari yang disertai dengan kasih yang besar. Tuhan memberkati kita semua.

Amin.