Pemacaan Alkitab: Hebreeën 2:17-18 en 5:7-10

Saudara-saudari, pemuda-pemudi terkasih di dalam Tuhan,

Apa yang akan Anda lakukan jika salah satu mangkuk keramik Anda pecah? Apakah Anda akan membuangnya atau memperbaikinya?

Jika Anda bertanya pada saya,  jujur saya akan katakan: buang saja, karena tidak dapat digunakan lagi.

Hal seperti ini setidaknya tidak terjadi di Jepang. Disana orang mengenal Kintsugi, sebuah teknik yang disebut untuk memperbaiki keramik yang pecah dengan pernis khusus, yang dilapisi bubuk emas. Dengan demikian ada penekanan pada retakan yang terjadi seperti gambar di bawah ini.

Dalam teknik ini, perhatian diberikan pada sejarah objeknya, karena menekankan pada keretakan, bukan menyembunyikannya. Sebuah mangkuk yang sudah pecah layak untuk diperbaiki. Melalui Kintsugi, keramik itu menjadi lebih indah dari sebelumnya.

Teknik Kintsugi adalah metafora yang bagus untuk tema kita ‘Yang terluka yang menyembuhkan atau pemulih yang terluka’. Masing-masing kita mudah pecah, patah dan retak. Dan itu bukan hanya kita selaku pribadi, melainkan juga kita selaku keluarga, organisasi, perusahaan, gereja, masyarakat dan bangsa. Keadaan pecah itu perlu penyembuhan dan pemulihan. Tetapi pertanyaannya apa yang perlu dipulihkan? Siapa yang bisa memulihkan? Bagaimana  memulihkannya?

Dari pertanyaan-pertanyaan ini kita tahu bahwa penyembuhan dan pemulihan perlu proses yang lama. Itu membutuhkan waktu, tenaga, pemahaman yang benar dan tindakan  konkrit. Sebagai gereja kita berharap, dapat memperoleh jawaban atas pertanyaan ini di sepanjang tahun 2022. Satu hal yang pasti, siapapun dan apapun kita, kita berharga di mata Allah dan Ia ingin menyembuhkan dan memulihkan kita, sebagaimana tertulis dalam nats pembukaan: Akulah TUHAN yang menyembuhkan engkau (Kel.15:26b).

Saudara-saudari,

Tema hari ini “Pemulih yang terluka / yang terluka yang menyembuhkan” diambil dari buku Henry Nouwen, seorang ahli teologi dan psykolog Belanda (1932-1996).

 

Henri Nouwen lahir di Nijkerk. Ia bertumbuh dalam keluarga Katolik tradisional yang harmonis dan ia suka memimpin. Ia memutuskan untuk menjalani studi sebagai pastor, kemudian studie psikologi dan pada tahun 1957 ia ditahbiskan sebagai pastor di Katedral Utrecht.

Pada saat itu ia mengalami ketegangan antara dua disiplin ilmu, teologi dan psikologi di Belanda, ia melihat bahwa dua disiplin ilmu ini berjalan dengan baik di Amerika kemudian ia pindah ke Amerika pada tahun 1971 di mana ia menerima menjadi pengajar psykolog sekolah terkemuka di Yale dan sesudah itu di Harvard.

Pada tahun 1985 semua orang heran  ketika tiba-tiba ia meninggalkan jabatannya yang tinggi itu lalu menjadi pengasuh anak-anak cacat fisik dan mental di Panti Asuh  L’Arche Daybreak di Toronto, Kanada. Ia tinggal dan bekerja di sana sampai meninggal tahun 1996. Kita akan berbicara lebih lagi tentang bukunya pemulih yang terluka. Sekarang kita melihat pembacaan kitab suci kita terlebih dahulu.

Saudara-saudari Tuhan kita Yesus Kristus,

Penulis surat Ibrani 2:17-18 menyajikan gambaran Yesus sebagai Imam Besar dalam kehidupan emosional kita. Artinya Yesus harus menjadi satu dengan manusia. Putra Allah sama seperti saudara-saudari-Nya, sama sekali menjadi satu dengan mereka. Dia berdiri di tempat orang berdiri dan hidup di tempat dimana kita hidup. Dia tahu bagaimana rasanya menderita dalam pencobaan-Nya dan karena itu Dia dapat menolong kita. Penulis di sini menekankan identifikasi secara total dengan keberadaan manusia di mana dosa adalah batasnya karena Yesus tidak mengenal dosa. Dia adalah penyayang dan penuh kasih setia dan dapat membantu dan mendampingi kita orang-orang yang lemah dan menderita.

Ibrani 5:7-10, Yesus kristus adalah Anak Allah dan ditentukan oleh Allah sebagai Imam Besar untuk kepentingan manusia. Ini adalah jalan panggilan Kristus mencapai tujuan akhir (ayat 9). Dia harus melalui pencobaan yang dalam meskipun banyak firman yang menjanjikan hal indah dari Allah (ayat 5-6). Yesus Kristus, Putra ilahi dan Imam Besar yang kekal berteriak dan menangis! Ini bukan hanya tentang satu peristiwa tertentu, seperti pergumulan doa di taman Getsemani atau perjuangan kematian di Golgota, tetapi mencakup seluruh hidupnya ketika Dia hidup di dunia.

Yesus berbagi hidup-Nya dengan keberadaan manusia secara mendalam dan tidak ada penulis dalam Perjanjian Baru yang mengartikulasikan aspek ini dengan begitu kuat seperti dalam surat Ibrani ini. Dia menempatkan ini dalam bahasa Mazmur tentang empat emosi manusia: permohonan, doa, air mata dan tangisan yang keras.

Yesus belajar tentang ketaatan. Baginya, melatih ketaatan dalam kehidupan di dunia dan mempelajari sesuatu yang secara alami tidak Dia ketahui, adalah pembelajaran yang juga membawa penderitaan. Belajar disini berarti mengalami. Mencari tahu apa itu sesuatu yang asli/nyata. Ketika Yesus mengalami penderitaan dalam daging, Yesus mengalami betapa beratnya ketaatan itu.

Penulis surat Ibrani mendorong para pendengarnya dan kita semua dengan berita Injil ini: Anak Allah yang kekal di sorga telah berkehendak untuk melakukan ini di bumi, agar dari pengalamannya sendiri ia dapat merasakan bersama Anda dalam kelemahan Anda (Ibr.4:15). Yesus sekarang ingin membagikan kepada anak-anak-Nya apa yang telah Ia pelajari dalam penderitaan-Nya.

Saudara-saudari,

Apa artinya semua ini untuk kita?

Artinya Yesus sebagai Imam Besar ingin menemui kita dalam kelemahan kita. Dia dapat menempatkan diri-Nya dalam situasi kita, dalam penderitaan kita tentang penolakan, hidup tanpa kasih sayang, kesalahpahaman, dan ketidakadilan. Dia memahami kesedihan kita di awal yang sulit dalam hidup kita (yang tidak kita minta), tentang situasi rumah tangga yang berantakan dengan semua kesepian dan pemberontakan yang ada atau hubungan yang rusak dengan segala konsekuensi yang ada.

Terkadang sulit untuk melacak semua emosi kita yang membingungkan. Kita sering tidak memiliki kendali atas kemarahan, depresi, atau kurangnya rasa percaya diri kita, tetapi percayalah bahwa Yesus, yang mengenal kita terus menerus, ingin dekat dengan kita dan membantu kita.

Karena itu Yesus mencari Anda dan saya dalam situasi kita: Dia memanggil kita, menyentuh kita, mengenali nilai yang kita anut dan apa artinya bagi kita, mendengarkan dan menanyai kita. Dia memanggil Anda dan saya untuk mengikuti Dia karena Dia ingin berjalan bersama kita. Dia siap untuk mengambil situasi yang ada sebagai titik awal.

Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan kita Yesus Kristus,

Yesus yang disalibkan adalah Penyembuh dan Pemulih dosa-dosa dan luka-luka kita. Tabib kita adalah juga orang yang terluka. Bagi Dia sama sekali tidak asing: Dia sangat dekat dengan kita dalam luka yang kita alami dalam hidup kita. Tapi dia ingin menyentuh dan menyembuhkannya. Bukan dengan cara yang mudah dan murah, tetapi melalui rasa sakit dan kegelapan.

Demikian Henry Nouwen menemukan Yesus dalam segala pergumulannya. Ia melihat Yesus Kristus sebagai contoh dari pemulih yang terluka dalam pendekatan pastoral: Setiap orang Kristen harus hidup meniru Yesus: ia harus membalut lukanya sendiri dan menggunakannya untuk memulihkan dan menyembuhkan orang lain.

Henry Nouwen sendiri memang tampil terluka. ‘Ia terluka batinnya, seorang pemulih yang terluka. Justru karena lukanya ia merasa terlindung dalam hidup Bersama dengan para cacat fisik dan mental di Panti Asuh L’Archa, sebab para cacat mental itu juga pemulih yang terluka’.

Luka lain yang dia alami di masa kecilnya adalah sedikit peneguhan dan pengakuan, khususnya dari ayahnya. Hubungan mereka kadang-kadang hampir berbentuk kompetisi intelektual. Dari sini sering diikuti oleh kerinduan akan pengakuan yang tidak sehat. Sepanjang hidupnya ia bergumul dengan kesepian dan mendambakan keterikatan dan pengakuan.

Nouwen mengakui bahwa seorang pelayan kristiani (guru, dokter, aktivis sosial, aktivis gereja, rohaniwan bahkan seluruh umat) yang pekerjaannya memulihkan orang lain, sebenarnya dia sendiri adalah orang yang terluka. “Mengayun langkah pertama penyembuhan bagi orang lain, yaitu jika sang pelayan itu membalut lukanya sendiri dengan baik. Ia harus merawat lukanya sendiri supaya ia bisa memulihkan orang lain. Ia adalah yang terluka yang menyembuhkan.”.

Ia mengajak kita untuk jujur terhadap diri sendiri, menembus ketakutan kita sendiri. Dengan kata lain berani mengakui kenyataan bahwa kita sendiri perlu penyembuhan dan pemulihan.

Bagi Nouwen, 'Pemulih yang terluka / yang terluka yang menyembuhkan' bukanlah seorang pemulih, penyembuh, karena ia tidak dapat menghilangkan sakitnya rasa kesepian. Dia hanya bisa menggerakkan orang. Penekanannya adalah pada kenyataan bahwa dia "terluka", sama seperti manusia lainnya.

Saudara-saudari dalam Kristus,

Ada dua unsur penting bagi Henry Nouwen, yaitu Keretakan dan persekutuan. Dalam segala hal kita dipengaruhi oleh kehancuran/ keretakan di dunia ini, oleh apa yang orang lain lakukan terhadap kita, oleh apa yang telah kita lakukan terhadap diri kita sendiri. Kita semua rentan dan menyakiti orang lain. Kita menderita penyakit dan kematian, dari kesepian dan keterasingan, dari ketiadaan kasih sayang dan perasaan tidak berarti apa-apa.

Disini anggota jemaat dapat menjadi orang-orang yang memberi ruang bagi orang lain untuk mengakui keretakan hidup mereka. Mereka juga dapat berfungsi sebagai seseorang yang berdiri di samping orang lain yang menghadapi keretakan. Hal ini dapat menciptakan keterbukaan 'tempat yang aman', di mana orang merasakan ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Contoh dari Nouwen yang menunjukkan kerentanannya sendiri akan mengundang orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Keretakan juga terkait dengan elemen lain yaitu komunitas. Menurut Nouwen, setiap orang terluka atau patah/retak. Dengan mengakui hal ini dan berbagi satu sama lain, tercipta keterhubungan di antara manusia. Komunitas diciptakan dengan pengetahuan bahwa kita semua adalah orang-orang yang terluka/hancur. Dari pengetahuan itu kita bisa dekat satu sama lain. Karena individualisasi dan sekularisasi yang kuat yang terjadi di Belanda, pengakuan umum tentang keretakan sebenarnya dapat menyatukan manusia kembali.

Tema kita di tahun 2022 adalah 'Gereja, tempat di mana terjadi penyembuhan dan pemulihan'. Kita berdoa agar gereja-gereja pada umumnya, GKIN pada khususnya, adalah komunitas yang memulihkan. Komunitas yang terluka, yang memulihkan. Bukan karena luka-luka disembuhkan / dipulihkan  dan rasa sakit menjadi ringan, tetapi karena rasa sakit dan luka-luka menjadi pembuka atau kesempatan untuk sebuah visi baru. Pengakuan timbal balik dan pendalaman dalam harapan bersama dan saling berbagi kekurangan mengingatkan pribadi dan secara bersama akan sebuah kehidupan yang berasal dari Kristus sendiri. Visi baru ini mengurangi prasangka dan sikap menghakimi seorang akan yang lain.

Saudara-saudari kekasih Tuhan Yesus Kristus,

Melihat Kembali pada Kintsugi yang saya katakan di depan, memberi kita pemikiran tentang harapan. Ada harapan karena keretakan/kehancuran bukanlah titik akhir, tetapi titik awal dari mana Anda dapat melayani orang lain.

Kintsugi membuat pecahan keramik menjadi lebih indah dari sebelumnya. Ketika kita menyerahkan hidup kita ke dalam tangan Yesus, kita memasuki proses pemulihan dan penyembuhan yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Kepahitan kita berubah menjadi kelembutan, kekecewaan kita berubah menjadi harapan, perasaan ditolak kita berubah menjadi pengalaman diterima tanpa syarat, keraguan kita berubah menjadi kembali percaya, kecemburuan kita berubah menjadi sikap yang menyenangkan, keangkuhan kita berubah menjadi kerendahan hati, kesedihan kita berubah menjadi sukacita.

Keretakan / kehancuran bukanlah titik akhir, tetapi titik awal dari mana Anda dapat melayani orang lain. Marilah kita menyadari luka-luka kita agar kita dapat menggerakan orang lain juga untuk disembuhkan / dipulihkan. Allah memberkati kita  semua dalam proses penyembuhan dan pemulihan.

Amin.