Matius 5:13-16

Garam yang mengasinkan

Garam sangatlah penting dan diperlukan. Ada suatu masa di mana garam lebih berharga dari saat ini. Tahukah anda, kata ‘salary’ (gaji), yang setiap bulan membuat orang senang, diambil dari kata Latin ‘salarium’, yang artinya ‘ransum garam’. Di abad 10 sebelum Kristus, orang Keltik di Eropa adalah yang pertama-tama menggunakan garam sebagai ayat pembayaran/ barter. Orang Romawi mengambil alih ini dan membayar tentaranya dengan ‘ransum garam’, yang disebut orang juga ‘emas putih’.

Di Matius 5-7 yang dikenal sebagai Khotbah di bukit, Tuhan Yesus berkhotbah tentang Kerajaan Sorga. Tiap orang yang tunduk kepada Yesus Sang Raja; juga anda dan saya, menjadi warga negara Kerajaan itu. Tiap orang yang bertobat dari dosanya dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, menjadi pengikut-pengikutNya dan mendapatkan identitas yang baru. ‘Kamu adalah garam dunia…Kamu adalah terang dunia.

 

Yesus tidak berkata di sini: Kamu harus menjadi garam dan terang dunia. Yesus tidak berkata di sini: Kamu bisa menjadi garam dan terang dunia. Yesus juga tidak berkata: Kamu akan menjadi garam dan terang dunia. Tidak, itu tidak dikatakan Yesus. Yesus berkata: Kamu adalah garam dan terang dunia! Garam dan terang bukanlah kualitas DALAM kita pada dasarnya, tetapi pemberian KEPADA kita. Jadi bukanlah prestasi manusia, tetapi pemberian Allah.

Kita memiliki empat jenis perasa: asam, manis, pahit, dan asin. (Sekarang dikatakan ada rasa kelima: umami, rasa kenikmatan).

Orang Kristen seperti apa saya?

Yang manis? Helmut Thielicke, seorang Teolog Jerman berkata ‘Yesus tidak berkata: kamu adalah madu dunia’. ‘Memang’, kata Thielicke. ‘Banyak orang Kristen yang memaniskan berita Injil. Mereka menghapus hukuman. Mereka tidak pernah bicara tentang penghakiman Allah’. Jadi seakan kita selalu dibelai Tuhan apapun yang kita lakukan.

Allah itu baik, tetapi tidak manis.

Pengampunan tanpa pertobatan adalah anugerah yang murahan. Sebagai orang Kristen, kita harus mengatakan yang sebenarnya. Tidak memoles dan mempermanis. Di Matius 5:37 Yesus berkata: ‘Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.’

Yang asam? Selalu kritik dan wajahnya cemberut. Suka mengomel. Tidak suka memberi dukungan. ‘Ini tidak baik. Itu tidak bagus. Saya menentang ini dan itu di masyarakat.’ Mungkin ini memang solid, tetapi Injil bukanlah berita asam, tetapi berita sukacita.

Yang pahit? Apakah saya orang Kristen yang pahit? Pahit karena hidup ini atau masa lalu. Pahit karena situasi di dunia ini. Pahit karena sekularisasi yang membuat gereja semakin mengkerut di Belanda atau Eropa. Pahit karena apa yang orang katakan atau lakukan terhadap saya. Selalu merasa menjadi ‘korban’.

Yang asin? Yesus meminta kita tidak menjadi manis, asam, pahit. Tidak. Ia berkata: kamu adalah garam dunia. Jadilah orang Kristen yang memberikan rasa asin, yang membawa rasa. Garam itu penting sebagai pemberi rasa. Coba saja anda bayangkan soto ayam.

Bagaimana rasanya soto ayam tanpa garam? Semua bumbu dan bahan sudah lengkap (bisa anda sebutkan di rumah?) Namun tanpa garam? Hambar! Jadilah garam yang mengasinkan! Injil itu murni seperti garam dan mempunyai efek. Jangan biarkan menjadi tawar.

Garam sangat diperlukan. Bukan hanya sebagai pemberi rasa. Garam mencegah kebusukan. Zaman dulu waktu belum ada lemari es atau freezer, maka dengan garam maka makanan bisa diawetkan untuk waktu yang lama. Contohnya ialah ikan teri.

Garam juga memurnikan. Dalam II Raja-Raja 2:19-22 kita dapat membaca tentang mata air yang beracun di Yerikho. Mungkin ini karena bakteri. Mata air itu harus dimurnikan dari racun sebelum dapat berfungsi kembali seperti tujuan semula. Apa yang terjadi? Allah memakai nabi Elisa untuk menyehatkan air di sana dengan melemparkan garam. Garam bekerja memurnikan. Garam lebih kuat dari racun. Tuhan Yesus ingin memakai kita sebagai garam yang memurnikan dan garam yang mencegah kebusukan dunia ini.

Janganlah garam itu menjadi tawar. Garam di Palestina diambil dari Laut Mati. Garam ini terdiri dari banyak unsur. Karena penguraian komposisi, bagian dari garam ini (yaitu elemen tidak murni seperti kapur) menjadi pahit dan tidak dapat dipakai. Jadi sia-sia. Karena itu janganlah mencampur garam di dalam kita dengan dunia ini agar tidak kehilangan rasa. Jangan kompromi. Tapi juga jangan hanya menggumpal di tempat garam (gerejawi) saja. Garam harus ditaburi. Jangan tersedot dunia ini dan juga jangan menarik diri dari dunia ini. Kita ada di dalam dunia, tetapi bukan dari dunia. Hanya dengan demikian kita menjadi garam yang mengasinkan (Bnd. Yohanes 17:15-16).

Terang yang menerangi

Terang sama pentingnya dengan garam. Apa yang terjadi dengan dunia ini kalau tidak ada terang? Dalam Perjanjian Lama dinubuatkan bahwa Mesias akan datang menjadi terang bangsa-bangsa (Yesaya 42:6, 49:6). Di Yohanes 8:12 Yesus berkata: ‘Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan melainkan ia akan mempunyai terang hidup’. Yesus adalah penggenapan janji Allah yang akan membawa terang ke dalam dunia yang gelap ini.

Dan sekarang Yesus berkata kepada para pengikutNya: ‘Kamu adalah terang dunia!’. Kita dapat membandingkan ini dengan matahari dan bulan. Yesus adalah Sang matahari, sumber terang (Bnd. Maleakhi 4:2 Alkitab Indonesia). Kita adalah bulan yang mendapatkan terang dariNya, supaya kita kemudian memancarkan kembali terang itu. Kalau kita di malam hari memandang ke langit, kadang bulan itu penuh (purnama), kadang terlihat sangat kecil. Ini bergantung pada posisi dan jarak bulan terhadap matahari. Demikian juga terang kita. Kalau kita semakin fokus kepada Tuhan Yesus, maka akan semakin besar terang yang kita pancarkan. Semakin kita tumbuh di dalam pemuridan, sebagaimana yang Pdt. Tjahjadi khotbahkan Minggu lalu, semakin kita dapat memancarkan terang Kristus sebagai murid-muridNya.

Seperti garam, terang mempunyai fungsi yang penting di dunia ini. Terang menghalau kegelapan. Terang sangat kuat. Menembus setiap sudut dan celah. Terang membuat kita dapat melihat ke sekeliling kita dan juga melihat diri kita. Terang Yesus membuat kita dapat melihat siapakah Allah!

Dengan adanya terang (matahari), maka tumbuhan dan pohon dapat bertumbuh. Terang adalah gambaran kehidupan dan keselamatan, gambaran kahadiran Allah.Tuhan adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut?’(Mazmur 27:1). Terang menunjukkan arah dan membawa kita kepada tujuan kita. Terang memberi sukacita dan pengharapan!

‘Kamu adalah terang dunia!’, kata Yesus. Orang Kristen tidak seharusnya menarik diri dari dunia ini atau juga menyembunyikan terangnya di bawah gantang.

Demikian juga ketika dunia ini begitu gelap, penuh dengan dosa dan kehancuran, penuh dengan ketidakadilan dan kebencian, janganlah kita dilanda sedemikian rupa, tetapi bersinarlah! Sebuah pepatah China mengatakan: ‘Lebih baik menyalakan sebuah lilin daripada mengutuki kegelapan.’

Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi’. Ini mengingatkan saya akan liburan keluarga kami tahun lalu ke Interlaken, Swiss. Malam hari, ketika langit gelap kita masih bisa melihat terang dari rumah-rumah di perbukitan. Terang di atas bukit itu begitu indah. Namun bukan hanya indah, terang itu juga penting sebagai titik orientasi di kegelapan. Gereja Tuhan Yesus juga dipanggil untuk bersinar seperti itu. Dapat dilihat oleh lingkungan.

Selama tiga minggu ini, dimulai dari Minggu lalu, kita mendengarkan khotbah berseri yang beranjak dari tema GKIN tahun 2020 ‘Berani bersaksi tentang Yesus Kristus, Tuhan kita’. Hari ini kita belajar bahwa bersaksi tentang Yesus berkaitan dengan identitas kita di dalamNya: sebagai garam dan terang dunia. Bersaksi berkaitan dengan siapakah kita. Seseorang berkata: orang Kristen harus menjadi berita sukacita terlebih dulu sebelum mereka memberitakan berita sukacita (Injil).

Ini bukan tentang menjadi orang yang tidak ada kesalahan. Ini bukan tentang berusaha menjadi sempurna. Tidak. Kalau itu kita buat-buat, maka orang dapat melihatnya. Ini namanya munafik. Tidak. Jadilah otentik! Bersaksi tentang Yesus terjadi secara natural. Garam juga tidak usah berbuat sedemikian rupa untuk mengasinkan. Terang juga tidak usah berprestasi untuk menerangi. Yang penting ialah bahwa garam harus bersedia untuk ditabur. Tidak tercampur, tapi juga tidak menarik diri. Terang harus menerangi dengan terbuka dan tidak menyembunyikan diri. Biarlah orang dapat merasakan garam anda dan melihat terang anda!

Orang-orang yang waktu itu mendengar kata-kata Yesus, mereka kemudian kembali ke tempat masing-masing. Demikian Yesus memanggil kita ke tempat kita masing-masing, ke keluarga kita, sanak saudara, teman-teman, pekerjaan, sekolah, masyarakat sekitar kita. Kembali ke tempat di mana Yesus memanggil dan menempatkan kita. Tidak ada orang yang seunik anda yang berada di tempat anda. Melalui anda dan saya, Allah ingin mencegah dunia ini dari kebusukan, Allah ingin orang mengecap kasihNya, Allah ingin menunjukkan terang dan keselamatanNya. Dengan demikian orang-orang akan memuliakan Bapa Sorgawi.

Meskipun banyak hal negatif yang ditimbulkan krisis corona, ada juga hal-hal positif yang timbul. Ini kita lihat misalnya ketika banyak orang berkomitmen menolong orang-orang yang rentan di lingkungan mereka. Banyak inisiatif yang baik muncul: saluran telepon untuk orang yang ingin mencurahkan isi hati, menolong orang belanja, membawa makanan kepada orang yang membutuhkan, dll. Gereja-gereja juga menjadi kreatif dan berani menapaki jalan baru. Tidak hanya berpegang pada kebiasaan tetap, zona nyaman kita. Contohnya ialah kebaktian online dari banyak gereja. Juga dari GKIN. Demikian kita menjadi saksi Kristus di lingkungan kita sampai ke bagian lain dunia ini. Jemaat yang terkasih, marilah kita bergerak untuk bersaksi tentang Yesus Kristus Tuhan kita, dari identias yang Ia berikan pada kita: garam yang mengasinkan dan terang yang menerangi.

Lauren Daigle, seorang penyanyi lagu rohani yang banyak menjangkau anak muda dan publik umum yang luas, menyanyikan sebuah lagu ‘Salt & Light’.

 

Terinspirasi dari lagu ini, Aad van der Klaauw, seorang penyair Belanda menulis sebuah puisi ‘Garam dan terang’. (Sumber:https://weblog-staphorst.nl/2020/02/03/zout-en-licht/)

Dengan puisi ini saya ingin mengakhiri khotbah ini.

‘Garam dan terang’

Pikirkan keindahannya

Pikirkan keadilan.

Garam dan terang untuk dunia yang dingin.

Kasih yang luar biasa.

Dalam dan lebar seperti lautan

Api yang menghangatkan segalanya.

Kebebasan sejati,

kata-kata dan penebusan.

Biarlah mata memandang dunia baru.

Biarlah hidup ini seperti lagu yang bersaksi.

Biarlah hati dipenuhi dengan kasih.

Garam dan terang untuk dunia yang dingin.

Harapan untuk siapa yang membutuhkannya.

Seperti garam dan terang.

Untuk dunia yang membutuhkannya.

 

Amin.