Mazmur 62: 1-9

Tenang. Hening. Kita hidup di zaman yang sibuk dan buru-buru. Ada banyak yang terjadi. Ada banyak ketidaktenangan. Ada banyak suara, pendapat, kata-kata. Dalam hidup kita sehari-hari kita dibanjiri segala macam informasi, berita, pesan dari smartphone, dsb. Akibatnya fokus otak kita tiap detik bisa berganti-ganti. Dari berita-berita yang kita dapat, kita juga harus membedakan antara berita yang benar dan berita palsu (hoax) yang banyak beredar di masa pandemi ini. Selanjutnya kita juga sibuk beralih dari satu tugas ke tugas yang berikut. Hidup kita jadi terlalu dipenuhi dengan semua itu. Karena itu baik dan bermanfaat untuk bertanya: bagaimana keheningan bisa saya alami kembali?

Tahukah anda apa itu multitasking? Mengerjakan banyak hal sekaligus.

Kira-kira demikianlah otak manusia yang mengerjakan multitasking.

Walaupun multitasking kelihatannya efisien dan produktif (bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus), namun penelitian membuktikan kebalikannya. Multitasking menurunkan produktivitas sampai 40 %. Selain itu multitasking juga tidak baik untuk otak. Karena itu dianjurkan: Berhentilah multitasking! Fokuslah terhadap satu tugas. Sesuaikanlah cara hidup anda. Maka anda akan lebih tenang dalam hidup anda.

Tenang. Hening. Bagaimana kita bisa hening? Menurut perasaan kita, hening biasanya kita kaitkan dengan daerah perhutanan yang tenang di mana terdengar kicauan burung dan gemerisik daun-daunan. Hati kita rindu kepada keheningan seperti ini dan di suasana seperti ini pikiran kita bebas. Kita bisa dekat dengan diri kita sendiri.

Hening bisa juga pada waktu liburan atau di hari istirahat di mana ritme hidup keseharian terhenti.

Musik yang tenang dan buku yang baik juga bisa memberikan ketenangan. Dalam keheningan jiwa kita disapa dan kita menggali kekuatan untuk memasuki hari yang baru dengan kesegaran.

Cara hidup yang disesuaikan, lingkungan yang baik, dan situasi yang kondusif dapat menolong kita pada titik tertentu untuk hening. Namun ketenangan di jiwa kita, di dalam hati kita terdalam sesungguhnya hanya bisa ditemukan di dalam Tuhan yang menciptakan kita.

Demikianlah Daud bersaksi dan bernyanyi di awal Mazmur ini: “Hanya dekat Allah sajaaku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku.”

Orang bisa saja di luarnya hening (tanpa suara sedikitpun), tapi dalam hatinya gelisah. Lihatlah di Mazmur ini. Jiwaku tenang bukan karena situasi yang kondusif, lingkungan yang indah, bukan karena manusia, tetapi hanya dekat Allah saja. Demikian aku menemukan keheningan.

Karena keheningan ini bukan akibat dari situasi dan kondisi melainkan dari Allah, maka jiwaku tetap dapat tenang di tengah situasi yang berat dalam hidup. Bahkan aku dapat menyanyikannya. Tenang di tengah kekacauan. Hening di tengah badai.

Raja Daud sedang dalam kesulitan. Ada permusuhan, kebohongan dan tipu daya. Musuh-musuhnya menyerbunya. Gawat ini. Lebih gawat lagi karena kemungkinan ini berkaitan dengan anaknya sendiri, Absalom yang memberontak dan ingin merampas tahtanya. Orang yang anda percaya, yang anda kasihi, yang paling dekat dengan anda, yang sangat anda harapkan, justru orang yang bisa sangat mengecewakan anda.

Bukankah situasi seperti ini juga kita kenali dalam hidup? Situasi atau keadaan dapat mencengkeram kita sehingga kita bisa roboh. Orang dapat menjatuhkan kita dengan apa yang mereka lakukan, katakan, dan rencanakan. Anda merasa seperti diterpa gelombang besar dan tinggi yang akan menghancurkan hidup anda. Betapa banyaknya hal yang dapat menerpa keheningan iman. Semakin kita hidup dekat Tuhan kita semakin mengalaminya. Hidup sebagai pengikut Yesus bukan berarti bebas dari pencobaan, godaan, dan pergumulan.

Apa yang Daud lakukan di tengah badai hidup? Jiwanya berbalik kepada Allah. Berbalik berarti ada gerakan. Berbalik berarti memandang kepada Allah. Ia diam di hadapan Tuhan. Kondisi yang sulit masih ia hadapi, tetapi ada ketenangan mendalam yang memenuhi jiwanya. Itulah diam di hadapan Tuhan: berpaling kepada Tuhan dan memandang wajahNya. Ketenangan mengusir rasa takut dan membungkamkan keraguan.

Dietrich Bonhoeffer, teolog Jerman dari ‘Gereja yang Mengaku’, yang mendapat hukuman mati di zaman NAZI menulis tentang ini: “Jiwaku tenang dekat Tuhan … Seperti bayi yang tenang karena mendapatkan air susu ibu dan menemukan di sana pemenuhan kerinduannya. Seperti anak remaja tenang bertemu dengan idolanya. Seperti anak yang menangis rindu usapan lembut ibunya di kepalanya, agar kesedihan hilang. Seperti perempuan muda terdiam kalau membayangkan kelahiran anak pertamanya dan bagaimana menjadi ibu. Seperti seorang suami yang passion dan kegalauannya ditenangkan oleh pandangan mata istrinya. Seperti sahabat yang jadi tenang melihat pandangan sahabatnya. Seperti orang sakit yang jadi tenang karena bertemu dokternya. Seperti seorang lanjut usia yang tenang menghadapi kematian. Seperti kita ketika memandang bintang-bintang dan dipenuhi ketakjuban kepada alam semesta. Demikianlah jiwa kita harus tenang di hadapan hadirat Allah. Tenang dari segala kegelisahan dan ketergesa-gesaan.”

Kata-kata di ayat 6 seperti pengulangan dari ayat 2, namun di sini pemazmur berkata pada dirinya sendiri. Ia menasihati diri sendiri sebelum menasihati umatnya. “Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku.” Tenanglah hai jiwaku. Raja Daud di sini berbicara kepada jiwanya sendiri.

Apa itu jiwa? Jiwa adalah ‘bagian dalam’ (inti) dari hidup kita. Kita sering memberi banyak perhatian pada ‘bagian luar’ hidup kita. Karena itulah kita anggap penting: pakaian yang bagus, potongan rambut bagus, make-up bagus, sepatu bagus, dll. Namun pemazmur mengingatkan kita: wahai manusia, jangan lupa bahwa engkau memiliki jiwa. Jangan lupakan ‘bagian dalam’ hidupmu. Jangan abaikan jiwamu. Jaga jiwamu.

Sapalah jiwamu. Jiwa tidak boleh menjalani hidupnya sendiri. Jiwa tidak boleh menjadi tinggi hati. Jangan juga rendah diri (merasa minder). Jiwa harus didorong, dibangkitkan. Karena itu anda dapat juga berkata kepada jiwa anda: ‘Bangkitlah hai jiwaku. Carilah ketenangan hai jiwaku.’

Di dalam Tuhan ada ketenangan. Mengapa?Karena Ia adalah gunung batu, keselamatan, dan kota benteng (ayat 3 dan 7).

Ia adalah gunung batuku.Allah yang perkasa, gunung batu yang kuat. Di atas gunung batu ini aku berdiri. Seperti di Matius 7:24-27. Tuhan Yesus bercerita tentang dua orang yang membangun rumah; orang yang bodoh dan yang bijaksana. Orang yang bodoh membangun rumahnya di atas pasir. Orang yang bijak di atas batu. Keduanya dilanda hujan dan badai. Rumah orang yang bodoh rubuh, tetapi rumah orang yang bijak tetap berdiri. Tuhan Yesus ingin berkata kepada kita semua: Akulah gunung batu itu. Bangunlah hidupmu di atasKu! Hidupmu cepat atau lambat akan diterpa hujan dan badai, tetapi bersamaKu engkau punya pegangan hidup. Aku memegangmu erat. Yesus adalah gunung batu yang kokoh dan tak tergoyahkan.

Ia adalah keselamatanku.Allah membebaskan kita dari si jahat dan dari dosa-dosa kita melalui kematian Yesus di salib dan kebangkitanNya. Kita boleh hidup dalam pembebasanNya.

Ia adalah kota bentengku.Seperti lagu dari Luther: ‘Allahku benteng yang teguh’. Sebuah benteng adalah tempat berlindung. Bersama Tuhan kita aman. Benteng biasanya dibangun di tempat yang tinggi. Berlindung di kota benteng berarti kita diangkat lebih tinggi melampaui keadaan yang kita hadapi. Kita belajar untuk melihat lebih jauh dengan mata iman.

Di dalam Tuhan ada ketenangan. Bagaimana?Dengan berdoa dan membaca Alkitab tiap hari. Dengan berdiam diri di hadapan Allah. Seringkali kita penuh dengan banyak kata-kata. Doa hening saya pelajari di komunitas ekumenis Taizé dari Perancis (www.taize.fr) . Di Taizé tiap hari ada tiga kebaktian doa: pagi, siang, dan malam. Ciri khas kebaktian doa di sana ialah: menyanyikan lagu-lagu meditatif, pembacaan Alkitab dalam berbagai bahasa, dan doa hening yang berlangsung selama lima belas menit. Waktu saya pertama kali ke sana di tahun 1997, saya harus membiasakan diri dengan doa hening. Setelah 30 detik saya sudah membuka mata saya dan menengok ke kiri dan kanan. Memang tidak mudah berdiam diri begitu lama. Namun kita bisa berlatih dan berkembang di dalamnya. Betapa indah dan istimewanya kita boleh berdiam diri di hadapan Allah yang mengenal kita sepenuhnya dan yang mengasihi kita. Sama seperti pasangan yang sudah menikah begitu lama, yang tidak banyak bicara satu sama lain, namun cukup saling berpegangan tangan dan menikmati kehadiran satu sama lain. Demikianlah kita dapat menikmati kasih dan kehadiran Tuhan tiap hari, demikianlah kita menemukan ketenangan dan keheningan.

Di Belanda kita berada di tengah gelombag keempat dari pandemi corona. Hari Kamis dan Jumat lalu tiap hari ada lebih dari 16.000 orang yang terkena virus corona. Rumah Sakit semakin penuh. Banyak operasi yang direncanakan harus ditunda. Jumat lalu, perdana menteri Belanda mengumumkan ‘lockdown sebagian’ yang berlaku untuk tiga minggu dimulai dari hari Sabtu kemarin. Demikian juga protokol-protokol penting diberlakukan kembali. Kita kembali menghadapi masa-masa yang tidak pasti.

Walaupun demikian, sebagai orang beriman kita tahu bahwa kita tidak sendiri. Tuhan Yesus beserta dengan kita. Bersama Yesus ada ketenangan di tengah kekacauan. Ada keheningan di tengah badai. Datanglah kepadaNya. Kembalilah tenang. Tuhan Yesus yang menenangkan angin dan badai, yang membuat danau menjadi teduh (Markus 4:37-41), adalah Tuhan yang sama yang juga ingin memberi ketenangan dan keteduhan untuk anda dan saya. ‘Tenanglah hai jiwaku’.

Ketenangan itu membuat kita kuat menghadapi hari-hari yang sulit. Juga di saat pandemi ini. Ketenangan itu membuat kita mampu menghadapi kebisingan-kebisingan: dari pekerjaan kita, studi, di rumah tangga, aktivitas sehari-hari, di manapun kita berada. Bersama Tuhan kita tak tergoyahkan, berdiri teguh melampaui gelombang pasang kekacauan.

Seperti raja Daud, mari kita juga bersaksi akan kasih dan kuasa Allah kepada orang di sekitar kita. Bagikan pengharapan yang ada di dalam Kristus dan katakanlah kepada orang-orang: ‘Percayalah kepada-Nya setiap waktu, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita.

Amin.