Pembacaan Alkitab: Josua 24:14-16;21-24

Sdr-sdr yang dikasihi Tuhan Yesus,

Ada sepasang pengantin tampak berbahagia di hari pernikahan mereka. Pengantin laki-lakinya mengenakan tuxedo berwarna hitam, tinggi besar dan tampan. Sementara pengantin wanitanya tampil cantik dengan rambut terurai, tampak sexy dengan busana pengantin putih sambil memegang serangkaian bunga putih. Keduanya kelihatan tersenyum bahagia sesaat setelah pengantin pria memasangkan cincin ke jari manis pengantin wanita. Mari kita saksikan foto mereka.

Saudara-saudara, apa yang menarik dari foto ini? Ternyata sang pengantin wanitanya adalah sebuah boneka! bukan seorang wanita. Pasangan yang menikah di Karzachstan pada tahun 2020 yang lalu memang menarik perhatian. Ternyata pernikahan manusia dengan boneka semakin banyak.

 

Selain pernikahan antara manusia dengan boneka, ada juga pernikahan antara manusia dengan benda mati, seperti dengan bantal, laptop, mobil atau tembok Berlin.

  

Kecenderungan menikahi benda mati juga disebut sebagai kelainan objectophilia. Pelakunya menganggap objek mati sama seperti manusia yang bisa dinikahi.

Pertanyaannya, mengapa mereka memilih menikah dengan boneka atau benda mati? Ada yang merasa dikecewakan dan trauma dengan pernikahannya yang terdahulu. Ada yang ingin tidak diselingkuhi atau didustai oleh pasangannya. Ada yang ingin mendominasi atau menguasai pasangannya tanpa ada perlawanan. Namun sdr-sdr, apapun alasannya, semua peristiwa ini menunjukkan kepada kita bahwa para pelaku tidak menemukan relasi yang mereka harapkan di dalam hidup mereka.

Saudara-saudara, ada relasi yang hilang dalam kehidupan manusia saat ini, terlebih lagi dalam masa pandemi dengan masa isolasi dan lockdown yang cukup panjang ini. Banyak orang yang mengalami kesulitan hidup. Semakin banyak orang yang mengalami gangguan mental atau jiwa karena tekanan hidup yang sangat berat. Begitu juga banyak relasi yang hilang antar sesama manusia. Konon angka perceraian di beberapa negara juga meningkat selama masa pandemi ini. Belum lagi konflik yang terjadi dengan tetangga, dengan sesama di sekolah, di kantor, di perkumpulan, di pemerintahan, di gereja dan termasuk juga konflik di dalam kehidupan pernikahan dan keluarga kristen.    

Hari ini dalam rangka menyambut minggu keluarga di GKIN, kita akan menyoroti secara khusus konflik dan relasi di dalam keluarga. Kita sudah mengetahui betapa pentingnya peran keluarga dalam kehidupan, baik bergereja maupun bermasyarakat. Keluarga yang sehat menghasilkan gereja atau keluarga besar Allah yang sehat dan juga masyarakat yang sehat pula. Sebaliknya, keluarga yang bermasalah akan menyebabkan kehidupan gereja dan masyarakatnya juga bermasalah.

Dalam kitab Kejadian, dikatakan bahwa Tuhan Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan menurut gambar dan rupa-Nya. (Kej 1:26). Tujuan penciptaan Allah ini, agar manusia dapat memuliakan Allah dan menikmati kehidupan di dunia ini. Allah sudah punya rencana yang indah agar manusia mempunyai relasi atau hubungan yang harmonis dengan Allah, dirinya sendiri, sesama bahkan juga dengan alam semesta.

Namun sayang, rencana indah Allah bagi hidup manusia di dunia ini tidak terjadi karena manusia ciptaan-Nya ternyata tidak taat pada perintah-Nya dan jatuh dalam dosa. Sejak kejatuhan manusia dalam dosa, tidak saja relasi dengan Allah hilang atau terputus, tetapi juga relasi manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama dan dengan alam semesta juga terputus. Jadi menurut iman Kristen, kejatuhan manusia dalam dosa lah yang menyebabkan atau yang menjadi sumber dari hilangnya relasi yang harmonis.

Lalu bagaimana manusia yang berdosa ini bisa dapat menemukan kembali relasi harmonis yang telah hilang itu? Manusia hanya dapat menemukan kembali relasi yang hilang itu kalau manusia menjalin relasi dengan Tuhan Allah. Manusia tidak dapat hidup atau berjalan sendiri tetapi membutuhkan Allah. Nasehat inilah yang ingin disampaikan oleh Yosua dalam pidato terakhirnya kepada para pemimpin dan seluruh suku bangsa Israel.

Dalam perikop kita dari Yosua pasal 24 ini, Yosua memberikan nasehat-nasehat dan tantangan kepada orang-orang Israel agar tetap setia kepada Allah, tidak berpaling kepada berhala-berhala atau ilah-ilah lainnya. Yosua menceritakan kembali bagaimana Allah telah memilih dan menolong perjalanan hidup nenek moyang mereka. Allah yang sama juga telah mereka keluar dari penjajahan di Mesir dan berhasil memasuki tanah perjanjian di Kanaan.

Dengan menceritakan kembali semua kebaikan dan pimpinan Allah di masa lalu, Yosua berharap agar bangsa Israel tidak pernah melupakan kasih Allah yang telah memberi keberhasilan kepada mereka. Namun sayang dalam kenyataannya, bangsa Israel telah melupakan Allah dan jatuh dalam godaan untuk menyembah kepada " allah orang Mesir", kepada " allah orang Amori" seperti yang disembah oleh masyarakat setempat.

Dalam persimpangan iman itulah Yosua mengingatkan mereka kembali pada relasi mereka dengan Tuhan Allah. Yosua juga memberikan tantangan agar orang Israel mengambil keputusan tegas (komitmen) untuk tetap takut dan beribadah kepada Tuhan Allah. Yosua menantang bangsa Israel untuk mengadakan pembaharuan janji di hadapan Allah. Ini bukan sekedar tantangan kepada orang Israel, tetapi juga berlaku kepada dirinya sendiri dan keluarga.

Yosua memberikan teladan dengan memutuskan bahwa ia dan seisi rumahnya akan tetap setia beribadah kepada Tuhan, Allah Israel. “Aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” Itu berarti istri, anak-anaknya, bahkan semua kaum keluarganya beribadah hanya kepada Tuhan Allah. Ini adalah pilihan yang diambil oleh Yosua, sebagai kepala keluarga.

Yosua lalu melontarkan suatu pilihan kepada bangsa Israel apakah mereka memilih beribadah kepada TUHAN atau kepada allah lain. Yosua tidak memaksakan saudara sebangsanya harus memilih beribadah kepada TUHAN, tetapi Yosua mengingatkan bangsanya untuk menentukan pilihannya yang tepat, yakni mengadakan pembaharuan perjanjian dengan Tuhan Allah.

Pada waktu itu, bangsa Israel meresponi dengan positif tantangan dari Yosua dengan berkomitmen untuk tetap setia dan beribadah kepada Tuhan Allah, Inilah ikrar pembaharuan janji mereka: “Jauhlah dari pada kami meninggalkan Tuhan untuk beribadah kepada ilah lain” (ay 16); “Kami pun akan beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah kita.” (ay 18); “Tidak, hanya kepada Tuhan saja kami akan beribadah.” (ay.21); “Kepada Tuhan, Allah kita, kami akan beribadah, dan firman-Nya akan kami dengarkan.” (ay.24).

Yosua, sebagai pemimpin umat Israel, memutuskan pilihannya bahwa ia dan seisi rumahnya beribadah kepada TUHAN. Dan keputusan ini bukan hanya sekedar ritual atau janji yang kosong tetapi diikuti dengan perbuatan. Dalam ayat 23 bangsa Israel disuruh untuk mewujudkan keputusannya dengan tindakan konkret yakni menjauhkan diri dari allah asing dan mencondongkan hati hanya kepada Tuhan, Allah Israel.

Artinya Yosua mengajak bangsa Israel tidak saja namanya “umat pilihan Allah” tetapi sungguh menjadikan Tuhan Allah sebagai pusat kehidupan mereka. Dengan menjadikan Tuhan sebagai pusat dalam kehidupan mereka itu berarti mereka selalu menjaga dan membangun relasi yang hidup dengan Allah. Tuhan diikutsertakan di dalam seluruh kegiatan mereka sehari-hari, baik suka maupun duka.

Inilah keteladananyang ditunjukkan Yosua dan bangsa Israel. Bagaimana dengan kita, sebagai keluarga-keluarga kristen maupun sebagai persekutuan dari keluarga besar Allah, yang ditempatkan hidup di negeri Belanda ini? Tantangan yang kita hadapi cukup berat yaitu hidup di tengah pengaruh budaya dan kultur yang semakin sangat bebas dan sekuler. Apabila kita lengah, tanpa kita sadari kita bisa tergoda dan terbawa dengan pengaruh-pengaruh buruk dunia ini.

Seperti juga umat Israel, kepada kita diperhadapkan dengan suatu pilihan, kepada siapa kita beribadah dan mengandalkan hidup? Siapakah yang menjadi pusat kehidupan keluarga dan persekutuan kita?Ada komentar menarik dari Bernie Wiebe yang mengatakan “Loving relationship are a family’s best protection against the challenges of the world” terjemahan bebasnya, “Relasi yang berdasarkan kasih Tuhan adalah perlindungan yang terbaik menghadapi tantangan-tantangan dari dunia.”

Sdr-sdrku, jika kita juga memilih untuk tetap setia beribadah kepada Tuhan, yang telah menebus dan membayar lunas dosa-dosa kita serta menyelamatkan kita maka kita perlu membaharui relasi kita dan keluarga kita dengan Allah. Maka Allah lah, yang menjadi Tuhan dalam kehidupan keluarga kita. Kasih Allah harus dinyatakan dan diberlakukan di dalam kehidupan kita sehari-hari, dimana pun kita berada. Kasih Allah adalah itu bukan sekedar kata-kata atau sesuatu yang abstrak tetapi yang diperlihatkan dan dilakukan (Love is a verb). Kalau kita berkata kita mengasihi Allah maka kasih itu kita wujudkan dengan mengasihi sesama kita. Allah itu kasih. Kasih Allah itulah yang dapat menyatukan atau menyambung relasi yang hilang, tidak saja relasi kita dengan Tuhan tetapi juga relasi kita dengan sesama kita.

Pertanyaannya, bagaimana kita bisa memberlakukan kasih Allah itu dalam kehidupan sehari-hari atau membangun kembali relasi yang harmonis dalam kehidupan keluarga kita maupun keluarga besar kita, sebagai jemaat Tuhan? Ada beberapa tindakan praktis yang dapat kita lakukan:

Yang pertama, kita harus merangkul seluruh anggota keluarga dan melihatnya sebagai suatu kesatuan di dalam kasih Tuhan. Ketika terjadi konflik di antara kita, itu bukan hanya konflik antara “kamu dengan saya” atau antara “kelompok kamu dengan kelompok saya” tetapi konflik kita bersama. Konflik antara kita sebagai anggota keluarga dengan masalah. Kalau kalau kita hanya melihat konflik itu hanya konflik “kamu dengan saya” atau “kelompok kamu dengan kelompok saya” maka yang akhirnya yang terjadi adalah kita akan saling menyalahkan satu dengan yang lain, masing-masing merasa paling benar dan ini dapat merenggangkan atau membuat jarak bahkan membuat relasi kita hilang dengan yang lain.

Tetapi kalau kita mencoba melihat dari sudut pandang lain, yang lebih positif dan membangun, yaitu konflik yang kita hadapi adalah konflik antara kita bersama (suami, istri, anak ataupun sesama anggota) dengan masalah yang terjadi! Dengan mengandalkan kekuatan Allah dan memberlakukan kasih Allah, maka kita baik sebagai anggota keluarga atau keluarga besar Allah, meninggalkan ego dan kepentingan kita masing-masing dan berjuang bersama untuk mencari solusi dan memperbaiki relasi yang hilang.

Kedua, mau belajar untuk saling mengasihi sesama anggota keluarga atau keluarga besar Allah. Dalam prakteknya tidak mudah. Walaupun kita tahu bahwa kita harus saling mengasihi namun sering terjadi konflik karena perbedaan bahasa kasih. Kebutuhan bahasa kasih setiap orang belum tentu sama. Misalnya:

Seorang ayah bekerja keras sampai malam agar bisa memenuhi kebutuhan biaya keluarganya. Ia berpikir bahwa dengan bekerja keras, itu sudah berarti bahwa ia sudah mengasihi keluarganya. Sementara kebutuhan kasih istri dan anak-anak lain, ternyata lain. Mereka berharap bisa bercakap-cakap dan bersenda-gurau bersama dengan ayah mereka.

Sang suami selalu mengirimkan rangkaian bunga sebagai wujud cintanya kepada sang istri. Tetapi ternyata sang istri selalu “cemberut” ketika melihat tumpukan pakaian yang belum diseterika. Yang sang istri butuhkan bukanlah bunga tetapi suaminya mau membantu juga dalam pekerjaan di rumah.

Begitu juga ada orangtua, ayah atau ibu selalu membelikan hadiah-hadiah yang mahal dan bermerek untuk anak remajanya, sebagai wujud kasih sayang mereka. Sementara yang dibutuhkan oleh sang anak adalah ungkapan kasih berupa pujian atau kata-kata yang menguatkan, sentuhan yang menunjukkan kasih sayang juga kehadiran mereka bersama dengan sang anak.

Semua contoh ini menunjukkan adanya perbedaan bahasa kasih. Kita semua perlu belajar untuk memberlakukan kasih Allah dengan mengenal kebutuhan bahasa kasih tiap-tiap orang. Oleh karena itu untuk menutup kotbah dalam rangka minggu keluarga tahun ini di GKIN, saya ingin mengingatkan dan membagikan langkah-langkah praktis dari kebutuhan bahasa kasih, yang dituliskan oleh Gary Chapman dalam bukunya “The 5 love languanges”:

  1. Melayani. Yakni menunjukkan kesediaan untuk menolong atau meringankan beban sesama.
  2. Melalui kata-kata. Mengucapkan kata-kata yang memberi penguatan, dorongan semangat, peneguhan, penghargaan. Atau kita juga dapat mendengarkan secara aktif. Contoh sederhana, kita memuji masakan istri, atau hasil kerja suami dan anak-anak kita.
  3. Waktu yang berkualitas. Memberi waktu khusus untuk bersama dengan keluarga agar bisa bercakap-cakap dengan tenang tanpa gangguan. Misalnya, pergi makan keluar bersama atau liburan bersama.
  4. Sentuhan. Menggunakan bahasa tubuh kita atau sentuhan untuk menunjukkan ekspresi dan kasih kita.
  5. Hadiah. Menyatakan penghargaan atau rasa syukur kepada sesama dengan memberi hadiah. Tidak perlu sesuatu yang harus mahal tetapi yang penting ada perhatian untuk menyenangkan anggota keluarga kita.

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus,

Kita bersyukur untuk kebersamaan kita sebagai anggota dari keluarga kita maupun keluarga besar yang Tuhan karuniakan kepada kita. Sebagaimana yang dilakukan oleh Joshua, biarlah hari ini, kita juga membulatkan tekad dan membaharui relasi kita dengan Tuhan dan semua anggota keluarga kita, “Aku dan seisi rumahku akan beribadah kepada Tuhan”.

Memang tidak mudah. Kita masih akan menghadapi banyak tantangan dan konflik yang terjadi. Tapi apabila kita mau merendahkan hati, menjadikan Tuhan sebagai pusat dan memberlakukan kasih-Nya dalam kehidupan kita bersama, maka kita yakin Tuhan sendiri yang akan memberi kekuatan dan jalan keluar untuk setiap masalah dan konflik yang kita hadapi. Percayalah dalam Tuhan selalu ada harapan. Tuhan memberkati kita semua.

AMIN.