Pembacaan Alkitab: Filipi 4:11-13

Sdr-sdr yang dikasihi Tuhan Yesus,

Akhir-akhir ini, terjadi peristiwa-peritiwa yang mengejutkan kita semua. Dimulai dengan banyak berita duka dari sanak keluarga atau orang-orang yang kita kenal, khususnya dari Indonesia. Hampir setiap hari, WhatsApp group kita dipenuhi dengan berita kematian, baik yang meninggal karena Covid maupun yang bukan. Ada anggota jemaat kami, yang harus kehilangan dua kakak tercinta hanya selang beberapa hari. Istri saya kehilangan oom dan kepupunya dalam hari yang sama.

Selain berita duka yang kita terima bertubi-tubi. Kita semua dikejutkan dengan berita banjir besar yang melanda beberapa negara Eropa Barat. Banjir besar itu bermula dari Jerman itu, datang secara tiba-tiba bagaikan tsunami. Banyak rumah dan mobil yang terbawa hanyut. Di Jerman dan Belgia, ada banyak korban jiwa yang meninggal. Bahkan masih banyak orang yang dinyatakan hilang. Siapa yang sangka, banjir besar itu terjadi di Eropa.

Memang sejak munculnya virus Corona yang melanda seluruh dunia, kehidupan manusia menjadi semakin sulit dan berat. Namun menarik untuk memperhatikan perilaku manusia dalam menghadapi masa-masa sulit ini. Memang ada sekelompok manusia yang menjadi sadar melalui situasi saat ini, sadar akan apa yang terpenting dan yang harus menjadi prioritas dalam hidup mereka. Kita mendengar dan menyaksikan pelbagai aksi kepedulian untuk menolong dan meringankan penderitaan sesama.

Namun, di pihak lain, kita juga mendengar dan menyaksikan perilaku manusia yang memanfaatkan keadaan yang sulit dan memprihatinkan ini, untuk terus mencari dan mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya untuk diri mereka sendiri. Di Indonesia, ada berita tentang pemalsuan vaksin, menaikkan harga obat, ada juga sindikat yang teganya menaikan harga pemakaman atau kremasi berlipat-lipat di masa sulit ini.   

Pada masa sulit ini, banyak menimbulkan ketakutan demi ketakutan. Dan takut akan kekurangan dapat membuat manusia menjadi serakah. Manusia berebutan tanpa peduli dan melihat keadaan sesama. Manusia bahkan menjatuhkan sesama hanya untuk sebuah kepuasan sementara. Apa itu keserakahan? Berbagai kamus bahasa Inggris menggambarkan serakah sebagai keinginan yang sangat kuat untuk dapat sesuatu lebih banyak lagi, khususnya soal makanan atau uang. Ada pula yang menyebut sifat ini sebagai sebuah keinginan berlebihan atas kekayaan atau harta benda, lebih daripada yang dibutuhkan.

Sdr-sdr, ada pengantar yang menarik dari sebuah webinar, yang mengungkapkan perasaan hati banyak orang, dikatakan bahwa banyak orang berteriak: “Aku tidak puas dengan hidup ini” atau “Masih ada yang kurang!” Senang melihat orang susah, susah melihat orang senang. Ini-itu sepertinya belum beres di hati: gampang marah, iri-hati, sulit bersyukur, tidak content (puas).

Keinginan yang tidak terpuaskan untuk bisa punya lebih banyak uang, kekayaan, dan materi mungkin terlihat tidak menyenangkan. Akan tetapi keserakahan juga telah menjadi motor bagi dinamika ekonomi pasar. Orang-orang juga menjadi “serakah” akan pengetahuan, pengakuan dan kesuksesan. Inilah sifat ambivalen dari keserakahan.

Kita harus berhati-hati dan waspada. Karena kejadian dan peristiwa yang kita alami dalam hidup ini dapat membuat kita, sebagai orang-orang kristen menjadi bersikap kurang bersyukur dan tidak merasa puas dalam kehidupan ini. Mari kita sama-sama belajar, apa yang diajarkan dalam Alkitab mengenai hidup mencukupkan diri atau mengalami kepuasan hidup.

Dalam Perjanjian Lama, kita dapat belajar dari pengalaman bangsa Israel di padang gurun. Ketika mereka mengeluh karena tidak ada makanan dan kelaparan maka Tuhan Allah mengirimkan manna dari langit. Inilah yang dikatakan dalam Keluaran 16:16: “Pungutlah manna itu, tiap-tiap orang menurut keperluan-nya, masing-masing boleh mengambil untuk seisi kemahnya, segomer seorang menurut jumlah jiwa.” Selanjutnya dalam ayat 18 tertulis, ”…maka orang mengumpulkan banyak, tidak berlebihan, dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak berkekurangan. Tiap-tiap orang mengumpulkan menurut keperluannya”

Sdr-sdr perintah Allah ini sebenarnya mengajarkan: Pertama, Allah sedang mendidik umat-Nya agar tidak bersifat serakah. Ambil seperlunya saja, yaitu untuk satu hari seorang mengambil satu gomer. Kedua, Allah sedang mendidik umat-Nya untuk bersikap adil. Tiap orang hanya boleh mengambil satu gomer supaya semua orang tanpa kecuali mendapat bagian.

Musa, pemimpin bangsa Israel pada waktu itu, sudah memberi larangan kepada umat Israel agar manna itu jangan disimpan sampai keesokan hari. Tetapi ternyata ada yang tidak mendengarkan Musa. Apa yang terjadi? Manna itu berulat dan berbau busuk. (Kel 16:20)

Saudara-saudara yang terkasih, di dalam Perjanjian Baru, kita juga dapat menemukan pengajaran agar kita hidup mencukupkan diri. Tuhan Yesus mengajar para murid-Nya mengenai hal ini melalui doa Bapa Kami. Setiap kali kita berdoa “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Masih dalam kotbah-Nya di bukit Tuhan Yesus meningingatkan kita semua, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari esok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari”. (Matius 6:34).

Apakah Yesus, melarang kita merencanakan perbekalan masa depan atau menabung untuk hari depan? Tentu tidak. Tetapi kita diajarkan bahwa anugrah Tuhan tidak diberikan secara sekaligus, supaya jangan selanjutnya kita tidak merasa membutuhkan Tuhan lagi. Tuhan memberi anugrah-Nya sebagian demi sebagian sesuai dengan apa yang memang dibutuhkan dari hari ke sehari. Dari sini lahirlah pepatah dalam bahasa Inggris “Take one day at a time”.

Tuhan Yesus mengakui perlunya perencanaan. Namun dalam merencanakan perbekalan itu kita jangan diliputi rasa kuatir sehingga kita menjadi serakah lalu menimbun perbekalan sebanyak-banyaknya. Demikian pula perencanaan perbekalan itu jangan dijadikan jaminan hari depan sehingga kita tidak lagi menggantungkan diri pada anugrah Tuhan dari hari ke hari. Jalanilah hari demi hari.

Saudara-saudara, tentu hal ini tidak mudah karena kita butuh jaminan agar hidup kita, bukan hanya untuk hari ini tapi juga besok, minggu depan dan bulan depan, sampai tahun depan berjalan dengan dengan baik dan berkecukupan. Dalam hal ini, ternyata kita perlu belajar untuk beriman bahwa Tuhan yang memberkati kita pada hari ini juga akan memberikan berkat yang cukup untuk esok hari dan seterusnya.

Hal ini juga yang disuarakan oleh Rasul Paulus melalui perikop kita. Paulus memberikan rahasia kepuasaan hidup dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Paulus menceritakan pengalaman pribadinya mengenai kepuasan hidup. Hidup seperti apa yang dijalani Paulus? Rasul Paulus ternyata menjalani hidup yang sama sekali tidak nyaman.  

Kalau kita membaca 2 Kor 11:23-27. Paulus menuliskan daftar penderitaan yang pernah ia alami: disesah (artinya dipukul) orang Yahudi, setiap kali 40 pukulan, dilempari dengan batu, didera (artinya dipukul dengan rotan atau cemeti), mengalami kapal karam, sehari semalam terkatung-katung di laut, sering masuk penjara, bahaya banjir dan berhadapan dengan penyamun. Bahkan surat Filipi ini ditulisnya ketika ia berada di dalam penjara.

Setelah melalui kehidupan yang penuh penderitaan ini wajar apabila Paulus mengatakan, “Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku: baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan”. (ayat 12)

Selain tantangan pelayanan sering yang membawanya berhadapan dengan hidup dan mati, secara keuangan, Paulus bukanlah seorang yang kaya raya. Ia bekerja hanya sebagai pembuat tenda atau kemah (Kis 18:3).  Jadi secara keseluruhan kehidupan Paulus jauh dari kehidupan yang mulus dan nyaman.  Namun pada saat ia melihat kembali ke belakang, pada hidup yang penuh dengan penderitaan, Paulus menyimpulkan, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepada-Ku.” (Ayat 13)

Walaupun kehidupan yang harus dilaluinya sangat berat dan penuh penderitaan namun Paulus bersyukur karena dapat menanggung semuanya itu. Bukan karena kekuatan dan kemampuannya tetapi karena kekuatan Tuhan. Inilah rahasia kepuasaan hidup Paulus. Fokus Paulus bukanlah pada apa yang terjadi dan dialami dalam hidupnya melainkan pada Siapa yang menyertai dan memberi kekuatan padanya. Paulus menyaksikan penyertaan Allah atas hidup orang-orang percaya. Allah yang bukan hanya mencukupi kebutuhan jasmaninya tetapi juga yang memberi kasih karunia berupa kekuatan, penghiburan, perlindungan dan pimpinan.

Bagaimana Paulus bisa mengalami kepuasan hidupnya? Kuncinya dapat kita baca di dalam ayat 11. “Sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.” Respon Paulus bukanlah respon yang otomatis dan alamiah dari penderitaan dan tantangan. Sebagai manusia, respon yang alamiah pada saat mengalami tantangan dan penderitaan tentu saja sedih, marah, atau takut. Namun Paulus tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan-perasaan tersebut. Ia “move on” dan dengan pertolongan Roh Kudus, ia belajar untuk mencukupkan diri. Apa artinya mencukupkan diri?

1. Tetap bersandar kepada Allah dalam menghadapi tantangan hidup. Pada saat Paulus menghadapi situasi yang berada di luar kendali atau kontrolnya dan merasa tidak berdaya, bergantung pada manusia, melainkan ia semakin erat menggengam tangan Tuhan. Paulus sungguh mengamini bahwa kuasa Tuhan senantiasa sanggup untuk menopangnya. Bahkan pada saat ia lemah dan tidak berdaya. Sebagaimana dikatakan dalam 1 Kor 12:9, “Tetapi jawab Tuhan, Cukuplah kasih karuniaku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.”Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku supaya kuasa Kristus turun menaungi aku”.  

Saudara-saudara bukankah Paulus ini memberikan teladan yang baik kepada kita dalam bersikap di masa sulit yang kita tidak tahu kapan berakhirnya. Di tengah-tengah ketakutan kita, Paulus mengingatkan kita, jangan takut, kasih karunia Tuhan cukup untuk menopang kita. Ketakutan dan ketidakpastian mendorong kita untuk mencari tahu akan masa depan, bagaimana selanjutnya? Apa yang akan terjadi pada saya dan keluarga saya? Namun iman mengatakan bahwa kita mempunyai Tuhan Yesus yang bisa kita andalkan. Itu sudah cukup.

2. Merasa puas dan bersyukur.

Mencukupkan diri berarti merasa puas dan bersyukur dengan apa yang kita miliki. Fokus kita bukan pada apa yang tidak ada melainkan pada apa yang kita miliki. Bukankah dalam masa sulit ini kita memiliki banyak kesempatan untuk belajar merasa puas dan bersyukur? Dulu barangkali kita akan mengeluh apabila kita tidak mempunyai barang ini atau itu yang kita inginkan tapi sekarang ketika kita bangun tidur dengan tubuh yang sehat dan masih dapat kesempatan untuk menikmati kehidupan ini, kita sungguh bersyukur. Terlebih lagi kalau kita masih bisa bertemu dan berkumpul dengan keluarga dan teman-teman kita.

 

Sdr-sdr yang dikasihi Tuhan Yesus,

Mari kita belajar dari teladan hidup rasul Paulus, yang mencukupkan diri dalam segala keadaan. Saya ingin menutup renungan hari ini dengan sebuah cerita karangan Leo Tolstoy.

Ada seseorang yang berniat membeli sebidang tanah yang luas. Ia dihantar oleh si empunya tanah. Dari atas puncak gunung ia melihat lembah-lembah dan bukit-bukit yang terbentang luas. “Berapa hektar yang saya boleh beli?” “Berapa saja boleh, sekuat tenagamu.” “Lho koq sekuat tenaga?”

Ya, kamu boleh membeli tanah seluas yang bisa kamu kelilingi. Kamu lari dari sini. Kelilingi lembah-lembah dan bukit-bukit itu. Sebelum matahari terbenam kamu harus sudah kembali lagi ke sini. Kalau kamu mengelilingi 40 hektar, kamu dapat 40 hektar; kalau kamu kuat 50 hektar, kamu dapat 50 hektar.” “Waduh, 50 hektar itu artinya 500 ribu meter persegi.

Tahun depan harganya bisa naik dua kali lipat.” Tanpa membuang waktu lagi, pembeli tanah itu mulai berlari. Turun lembah, naik bukit. Lari. Lari terus. Makin jauh aku lari, makin banyak tanah aku miliki. Kapan lagi bisa dapat tanah seluas ini? Ia terus berlari. Berjam-jam ia lari terus. Ia sudah sangat lelah. Tetapi ia paksa terus. Lari lagi. Ayo lari lagi. Akhirnya, ketika matahari hampir terbenam, ia terhuyung-huyung tiba di tempat si empunya tanah.

Dengan terengah-engah ia berkata, “Aku dapat, aku dapat 500 ribu meter persegi. Tetapi apa yang terjadi? Tidak lama kemudian ia roboh. Nafasnya habis. Ia mati. Apakah ia akhirnya mendapat tanah itu? Ya, namun bukan 500 ribu meter persegi, melainkan hanya 2 meter persegi”. Panjang 2 meter, lebar 1 meter. Pas untuk menguburkan jenazahnya.

Saudara-saudaraku, di manakah rahasia kepuasan hidup? Bukan pada seberapa banyak yang kita miliki tapi pada seberapa banyak kita bersandar kepada Tuhan dan mensyukuri apa yang ada pada kita. Percayalah, Tuhan berkuasa dan memelihara hidup kita hari demi hari. Tuhan memberkati kita. Amin

https://www.youtube.com/watch?v=tkkDbsxctn8