Pemb Alkitab: Kejadian 45:1-10

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus,

Saya mengajak kita semua melihat dan memperhatikan gambar ini? Gambar ini mau mencoba melukiskan “Inner Child”. Apa artinya? “Inner child” adalah figur anak dari masa lalu kita. Masa anak-anak kita barangkali sudah lama kita lewati. Dan dalam masa kanak-kanak itu, ada banyak peristiwa yang kita alami.

Semua pengalaman ini terekam di dalam alam bawah sadar kita dan tetap terbawa hingga pada masa kini. Inner child ini diam dengan tenang dalam alam bawah sadar. Namun apabila kita mengalami peristiwa yang serupa, “inner child” ini bisa muncul lagi dan tanpa kita sadari naik ke permukaan dan mempengaruhi pikiran, perasaan dan tindakan kita.

Sebagai contoh, kalau pada masa kecilnya bapa A adalah seorang anak yang tidak dikehendaki atau ditolak oleh orangtuanya. Kemudian bapa A ini dibesarkan oleh orangtua angkatnya. Maka bapa A ini memiliki “inner child” nya sebagai anak yang mengalami penolakan. Perasaan ditolak ini, akan terus terbawa sampai ia dewasa. Jika ia mengalami suatu bentuk penolakan maka “inner child” nya, sebagai anak tertolak, tersentuh maka akan muncul kembali.

Saudara-saudara, kita semua memiliki inner child dari pengalaman masa lalu. Walau dalam bentuk yang berbeda-beda. Pengalaman masa lalu kita pada umumnya terdiri atas 2 macam, yaitu: pengalaman yang traumatis dan pengalaman yang impresif. Pengalaman yang traumatis adalah pengalaman yang menyakitkan dan tidak menyenangkan. Misalnya, pengalaman karena ditolak, sering dilecehkan (bully) atau pelecehan seksual, kehilangan orang yang kita kasihi, sering mengalami kekerasan, sering dihina dan tidak dihargai, dan lain-lain.

Sementara pengalaman yang impresif adalah pengalaman–pengalaman menyenangkan yang dapat meninggalkan kesan yang mendalam dalam hidup kita, seperti: ketika kita sering mengalami keberhasilan, sering diterima, dihargai, diakui, diselamatkan atau pernah ditolong ketika mengalami kesulitan, dan seterusnya.

Kedua pengalaman ini biasanya terekam jauh di dalam alam bawah sadar kita dan tanpa kita sadari terus mempengaruhi pikiran, perkataan dan perbuatan kita pada masa kini. Walau peristiwanya sudah lewat, sudah terjadi beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun yang lalu namun pengalaman masa lalu itu sewaktu-waktu masih bisa muncul kembali dan mempengaruhi pikiran dan emosi serta suasana hati kita pada saat ini.

Terutama pengalaman-pengalaman traumatis yang melukai hati pada masa kecil, umumnya masih terus terbawa. Adolf Hitler, tokoh Nazi yang terkenal sangat diktator, pernah bercita-cita ingin menjadi seorang biarawan. Ia sering membayangkan dirinya sebagai seorang biara. Namun pada masa kanak-kanak, ia sering mengalami kekerasan di rumah. Hitler hampir setiap hari dipukuli oleh ayah tirinya. Bahkan ia pernah diikat di sebuah pohon, disiksa dan dipukuli sampai pingsan.

Kalau kita pernah mengalami kejadian traumatis masa lalu yang tidak menyenangkan, tentu kita berusaha untuk menghindar atau melupakannya. Tapi dalam kenyataannya, pengalaman-pengalaman traumatis itu tidak mungkin kita lupakan. Biasanya, semakin kita berusaha untuk menghilangkannya, justru kita merasa lebih di”hantui”nya. Dan pengalaman dari masa lalu yang menyakitkan bisa membuat kita “terpenjara” dan tidak bisa bergerak maju (move on).

Inner child ini pada dasarnya dapat disebabkan oleh kebutuhan akan 4 emosi dasar:

  1. Rasa berharga. Misalnya pada masa kecil sering diberikan lebel yang kurang baik seperti, nggak becus apa-apa, si nakal, si malas, si gendut dll. Atau sering dibanding bandingkan, kog tidak sepandai kakaknya, kog nilainya tidak sebaik teman-temannya. Kekurangan rasa berharga ini membuat anak bertumbuh dengan perasaan rendah diri atau berusaha menutupinya dengan omongan yang besar untuk menaikkan penghargaan dirinya.
  2. Penerimaan. Misalnya pada seorang anak perempuan diharapkan lahir sebagai anak laki-laki. Atau anak bertumbuh dengan orangtua yang sangat sibuk bekerja dan tidak memberikan waktu untuk bersama dengan anak-anaknya. Anak-anak kemudian bertumbuh dengan perasaan tertolak dan menjadi sensitive dan menunjukkan reaksi yang berlebihan apabila dikemudian hari mengalami penolakan dari orang lain.
  3. Rasa aman. Misalnya seorang yang diadopsi pada masa kecil atau mengalami trauma, di-abuse atau diabaikan. Mereka bertumbuh dengan perasaan tidak aman dan mudah menjadi cemas dan gelisah berlebihan.
  4. Relasi. Seorang anak yang kurang mendapat perhatian dan relasi yang harmonis dengan orangtua pada awal masa kanak-kanaknya akan bertumbuh dengan perasaan kesepian dan sulit untuk menjalin relasi dengan orang lain.

Pengalaman masa lalu yang kita alami, tidak bisa kita kontrol. Tapi yang kita bisa kontrol adalah bagaimana kita menyikapi atau berespon benar terhadap pengalaman masa lalu kita yang menyakiti itu. Kita mau terus terbelenggu dengan masa lalu kita yang menyakiti atau kita mau memutuskan belenggu itu dengan menerima dan berdamai dengan masa lalu kita. Ini merupakan suatu pilihan! Terus terbelenggu atau berdamai?

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus,

Yang menarik dalam pembacaan kita pada hari ini, tokoh Yusuf memiliki masa kanak-kanak yang sangat traumatik. Ia dimusuhi oleh kakak-kakaknya. Ia ditolak bahkan hampir dibunuh. Coba kita bayangkan bagaimana kalau kita berada di posisi Yusuf. Bagaimana perasaan kita ketika ditolak, dibenci, disakiti bahwa mau dibunuh oleh kakak-kakak kita sendiri. Sungguh suatu pengalaman yang sangat menyedihkan, menyakitkan dan traumatis, bukan?

Akhirnya oleh saudara-saudaranya sendiri ia dijual kepada pedagang asing. Bayangkan luka-luka batin yang harus ditanggungnya. Ia pasti merasa tidak aman, tidak diterima, tidak berharga dan tidak mengalami relasi yang indah di masa kanak-kanaknya.

Bisa dimengerti apabila Yusuf bertumbuh menjadi seseorang yang penuh kebencian, keinginan untuk menindas dan membalas dendam kepada saudara-saudaranya. Namun ternyata tidak demikian.  Dalam perikop yang kita baca ternyata kisah Yusuf berakhir happy ending. Bagaimana Yusuf mengolah peristiwa traumatis dan luka-luka emosinya?

Dikatakan dalam ayat 1, “Ketika itu Yusuf tidak dapat menahan hatinya lagi…” Lalu ayat 2, “Setelah itu menangislah ia keras-keras sehingga kedengaran kepada orang Mesir dan kepada seisi istana Firaun.” Hal ini menunjukkan suatu pergumulan batin yang berat. Ketika Yusuf melihat saudara-saudaranya, apa yang dialaminya pada masa kanak-kanak muncul kembali di alam sadarnya. Ketika Yusuf mengingat kembali, ia menangisi apa yang dialaminya pada masa kanak-kanaknya akibat perlakuan saudara-saudaranya.

Pada saat meratap dan menangis ini sebenarnya Yusuf melangkah ke arah pemulihan dalam kehidupannya. Walau sakit dan pedih, mengenali dan mengakui perasaan kita, menerima bahwa kita terluka akan membuat kita merasa lega dan langkah awal dari pemulihan. Sebaliknya mengubur, menekan atau mengabaikan rasa sakit justru akan membuat kita memelihara luka tersebut dan membiarkan emosi negatif itu akan merusak kehidupan kita.

Saudara-saudara yang terkasih, kisah ini berlanjut dan mencapai puncaknya pada saat Yusuf memperkenalkan dirinya sebagaimana dikatakan dalam ayat 3, “Akulah Yusuf!” Bagaikan petir di siang hari, saudara-saudara Yusuf sangat terkejut. Mereka tidak dapat membuka mulut dan menjawab Yusuf. Yusuf yang mereka anggap sudah mati ternyata berbicara dan ada di hadapan mereka! Keadaan sekarang berbalik 180 derajat. Yusuf yang dulu mereka olok-olok sekarang menjadi seorang pejabat yang berkuasa menentukan hidup matinya mereka. 

Tentu saja saudara-saudaranya takut dan gemetar kalau-kalau Yusuf akan membalas perbuatan jahat mereka. Kalau seandainya saudara berada di posisi Yusuf, bagaimana sikap Saudara? Apa yang akan Saudara lakukan pada saat berhadapan kembali dengan orang-orang yang pernah menyakiti kita? Apa yang Saudara akan katakan apabila bertemu kembali dengan orang yang memperlakukan kita dengan tidak adil?  Yusuf tidak membangkit bangkit kembali ketidakdilan yang dirasakannya. Sebaliknya ia justru memutuskan mata rantai kebencian dari masa lalu.

Pada saat ini sebenarnya Yusuf memiliki kesempatan untuk membalas dendam. Ia benar-benar berkuasa. Satu jentikan jari saja dan saudara-saudaranya ini akan mati. Pembalasan ada di dalam genggaman Yusuf dan wajar kalau Yusuf membalaskan sakit hatinya. Yusuf memiliki hak untuk membalas dendam, bukan? Namun Yusus memilih untuk tetap berespon benar dalam hal ini.  Dan dalam kuasa pembalasan ada kuasa yang meracuni. Bukankah kita pernah merasakan hal itu? Bukankah kita sering tergoda untuk membalas, kalau bisa lebih sakit dari rasa sakit yang pernah kita alami.

Pada saat hati kita merasa panas dan ingin membalas mereka yang menyakiti kita, sebenarnya ada suatu yang halus dalam hati kita, “Siapakah kita yang mau bertindak seperti Tuhan? Ketika membalas dendam seolah olah kita mengatakan “Aku tahu bahwa pembalasan adalah hak-Mu Tuhan, namun kurasa Engkau tidak cukup menghukumnya.

Yusuf mengerti akan hal ini. Karena itu daripada membalas dendam, ia belajar untuk memaafkan. Yusuf malah membukakan bagi mereka pintu menuju masa depan yang mengandung kemungkinan yang baru. Selama 17 tahun, Yusuf, ayah dan saudara-saudaranya tinggal bersama di Mesir.

Sekali lagi, wajar apabila Yusuf membangkitkan perbuatan jahat saudara-saudaranya. Wajar apabila ia berharap saudara-saudaranya menyesal dan minta maaf padanya. Namun bukan tindakan seperti itu yang dipilih Yusuf. Yusuf, sebaliknya, berkata, “Jangan bersusah hati dan menyesali apa yang kalian dulu lakukan…karena Allah mengirim aku. Disini memang tidak disebut secara eksplisit mengenai pengampunan dan pendamaian.

Namun pilihan Yusuf untuk membuka lembaran yang baru mencakup kesediaannya untuk membuka pintu maaf bagi saudara-saudaranya. Inilah tahap yang kedua dari sebuah pemulihan. Setelah kita mengakui dan meratapi perasaan kita yang terluka, kita bergerak, jangan hanya terus memelihara luka kita itu, atau berputar-putar mengingat perlakuan jahat atau tidak adil yang kita alami. Kita harus move on, bergerak maju dan belajar untuk memaafkan.

Saudara-saudara yang menarik, pola ucapan Yusuf sebenarnya menggemakan pola penyelamatan Allah. Misalnya dalam Yesaya 41:9-13 “Jangan takut karena Aku menyertai engkau”. Yusuf memilih untuk berespon benar karena ia selalu memandang kepada Allah. Ia selalu melibatkan Tuhan dalam hidupnya.

Gema mengenai penyelamatan Allah ini semakin menguat dalam ucapan Yusuf selanjutnya dalam ayat 5 “Janganlah menyesali diri karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu…Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah! Dialah yang telah menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir.”

Dari sudut pandang manusia, kita bisa melihat, sungguh betapa beratnya pengalaman hidup traumatis yang harus dijalankan oleh Yusuf, sejak ia masih berusia muda. Namun, tidak demikian halnya di mata Tuhan. Dari kisah perjalanan hidup Yusuf yang berat itu, ternyata Tuhan tidak tinggal diam tapi turut aktif bekerja

Inilah kalimat kunci dari seluruh kisah Yusuf. Yusuf melihat apa yang dialaminya sebagai bagian dari tujuan dan rencana Allah yang besar. Yusuf membingkai kembali, memaknai kembali kehidupannya. Dengan memaknai, kita menyerahkan masa lalu kita ke dalam tangan Allah dan kita mencoba untuk melihatnya bukan lagi dari sudut pandang kita sebagai manusia tetapi juga dari sudut pandang Allah. Kesalahan saudara-saudaranya, dukacita ayah mereka karena kehilangan Yusuf dan pembalasan Yusuf, semuanya digunakan sebagai alat untuk menyatakan keselamatan dari Allah.

Rencana Allah sedang bekerja “di dalam, dengan dan di atas” tindakan-tindakan manusia yang jahat. Tidak ada seorang pun yang dapat menghentikan atau membatasi kuasa Allah yang sedang bekerja. Allah bekerja dengan bebas. Yusuf dan saudara-saudaranya memiliki kehendak bebas untuk memilih tindakan mereka. Namun pada akhirnya Allah yang bekerja melalui tindakan-tindakan mereka untuk memberikan kehidupan.

Saudara-saudara, Allah yang sama dan berkuasa ini juga yang sedang bekerja dalam kehidupan setiap kita. Keberadaan kita sekarang adalah produk dari apa yang kita alami pada masa lalu. Kita semua memiliki masa lalu, orangtua, pola pengasuhan dan mengalami perlakuan-perlakuan, baik yang positif maupun yang negatif.

Namun janganlah kita lupa bahwa Allah yang Maha Kuasa juga bekerja melalui semua itu. Sebagaimana dikatakan dalam Roma 8:28, “Allah turut bekerja di dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya”. Asal kita percaya dan mau mempercayakan hidup kita kepada-Nya.

Saudara-saudara, inilah teladan yang dapat kita pelajari dari Yusuf dalam memproses inner child dan trauma yang dialaminya. Di dalam pengalaman traumatis yang ia alami, Yusuf bisa melihat dirinya sebagai alat di tangan Tuhan. Sebagai manusia, kita melihat pengalaman masa lalu Yusuf sebagai sesuatu yang menyakitkan dan traumatis namun Yusuf mampu melihat dirinya sebagai seseorang yang berada selalu di dalam rencana keselamatan Allah. Yusuf mampu berespon benar dengan tetap setia pada Tuhan walaupun orang lain dan lingkungan tidak benar.

Saudara-saudara, biarlah dalam kehidupan kita, pengalaman yang positif maupun negatif bukan hanya berakhir pada putus asa dan kepahitan, tetapi dapat menjadi sarana di tangan Tuhan yang membawa damai dan kehidupan. Setiap kita itu sangat berharga di mata-Nya. Allah telah menciptakan kita masing-masing secara unik dan dengan tujuan. Melalui kisah Yusuf, kita bisa belajar bahwa Tuhan bisa menjadikan pengalaman-pengalaman masa lalu yang traumatis menjadi kisah yang indah dalam hidup seseorang. Tuhan memberkati kita.

AMIN.